Gu akhirnya bisa menulis namanya sendiri..
Mentari senja menyinari pemukiman transmigran di SP 3, aku
dan beberapa muridku tak mempedulikan teriknya. Angka-angka begitu memikat.
Kami asyik mengotak atik soal matematika yang aku berikan kepada beberapa muridku.
Mereka sangat menyukai perkalian, walaupun beberapa belum mahir di luar kepala
menghitungnya tetapi anak-anak itu tak ada habisnya memintaku menuliskan
soal-soal perkalian di kertas HVS yang aku sediakan. Aku pun kepayahan melayani
7 orang muridku lintas kelas. Arjunaidin bertanya soal yang dikerjakannya sudah
benar apa belu, Eman menarik- narik lenganku meminta hasil pekerjaannya segera
aku nilai agar dia bisa menjadi orang yang pertama selesai mengerjakannya,
Azwar senyum senyum lirik kiri kanan mengamati satu persatu temannya yang asyik
menakuklukan angka-angka yang aku berikan. Roy menjejerkan pensil, spidol dan
benda apapun untuk menemukan jawaban. Haryadin seolah tak terganggu dengan
apapun, asyik membolak balik majalah Bobo yang dibacanya sejak tadi. Haryadin
memang tak suka matematika, dan aku pun tak pernah memaksanya mengerjakan soa
matematika. Gu, biasa kami memanggil Syahrul Gunawan murid kelas 4 SD, menjadi
murid terakhirku yang menyelsaikan soal matematika. Dia menyelesaikannya dengan
tenang, tanpa alat apapun tanpa lirik kiri kanan dan tanpa menarik-narik
tanganku. Saking tenangnya aku jadi khawati apa dia mengerjakan soal yang aku berikan. Aku lirik kertasnya, dia
mnggambar banyak bulatan di dalam kotak. Dia mengerjakan perkalian itu dia
membuat isi dan wadah. Dan semua jawabannya tepat.
“karena sekarang hari Sabtu, jadi kalian boleh meminjam satu
buah buku” ujarku saat adzan magrib mulai berkumandang di masjid yang
menggunakan solar sel.
“Tulis nama dan buku yang dipinjamnya pada buku ini ya!
Kalian boleh minjamnya sampai hari Kamis minggu depan” tambahku.
Anak-anak pun rebutan antri menulis mengisi buku peminjaman
buku dengan tak sabar, ingin segera menulis nama dan buku yang dipinjamnya.
Haryadin dan Roy bahkan rebutan buku
Dinasaurus. Namun akhirnya Haryadin mngalah setelah dia melirik buku
cerita yang berjudul “Pasha dan Hari yang Luar Biasa. “ Gu, masih tenang dengan
senyum lebar yang memperlihatkan deretan gigi atasnya yang tak lengkap.
Lagi-lagi Gu menjadi orang yang terakhir.
“Bu Guru, aku tidak bisa menulis namaku” katanya pelan
sambil memegang buku cerita anak
bergambar.
Aku kaget bukan main, Gu murid kelas 4. Siswa kelas 1 pun
biasanya sudah pandai menulis nama walaupun belum hafal semua deretan alfabet.
Aku tersenyum kemudian berkata “Ibu sebutkan hurufnya ya!” Gu mengangguk.
Aku mendiktekan namanya pelan-pelan G-U-N-A-W-A-N. Cukup itu
dulu, Tak Usah pakai Syahrul pikirku. Gu kesulitan membedakan M dan N.
“N yang kakinya 2 kalau yang kakinya 3 itu M” tambahku saat
Gu salah menulis huruf N yang terkahir pada namanya. Selesai juga dia menulis
nama. Lega rasanya. Gu pun menyalin judul buku yang ingin dipinjamnya. Dia
memindahkan satu persatu huruf yang dia lihat pada sampul buku. Sebuah buku
cerita penuh gambar.
Sebelum dia pergi setelah mencium tanganku, aku pun
membisikan sesuatu padanya.
“Gu, mau bisa menulis nama sendiri tanpa dibantu orang
lain?” tanyaku pelan
Gu mengangguk. “Besok kita belajar baca dan menulis, baru
setelah itu Gu mngerjakan soal perkalian ya” bujukku.
“Iya Bu Guru” Gu pun pamit pulang menuju rmahnya di RT 01.
Aku cemas, khawatir Gu tak mau datang lagi belajar di tempatku.
Besoknya, walaupun hari minggu anak-anak tetap datang
belajar seperti biasa. Bahkan hari ini lebih banyak menjadi 12 orang Gu menjadi
salah satunya. Aku menuliskan beberapa
soal pada papan tulis kecil. Tabel matematika perkalian 1-15 Sangat panjang,
anak-anak awalnya berkoor “Wooo” tapi kemudian asyik dengan kertas, pensil dan
berbagai cara yang mereka gunakan untuk menebak angka pada setiap tabel. “Ibu
minta kalian mengerjakannya dengan tenang dan mendiri. Ibu yakin kalian pasti
bisa” kataku. Aku sengaja memberikan soal yang banyak supaya aku punya waktu
agak lama dengan Gu.
“Gu, kita belajar baca dulu ya” aku ajak Gu agak terpisah
dari teman-temannya Beberapa anak melirik aku dan Gu tapi hanya sebentar,
mereka kembali asyik dengan angka-angka.
Gu yang aku khawatirkan malu karena belum bisa membaca
sedangkan adiknya Wiwin yang kelas 3 sudah sangat fasih membaca nyaring buku
cerita yang ada di depannya, dugaanku salah. Gu begitu penurut dan dengan
tenang mengikuti setiap bimbinganku. Aku kira Gu disgrafia, tetapi ternyata
tidak. Dia hanya belum akrab dengan huruf-huruf romawi. Gu bahkan sangat akrab
dengan huruf Hijaiyah dan angka-angka.
Hari Sabtu pun, waktunya anak-anak boleh menimjam buku untuk
dibaca di rumah masing-masing. Pemandangan yang sama terjadi, saling rebutan
buku, tak mau ngantri tetapi satu yang berbeda Gu sudah bisa menulis sendiri
namanya pada kertas peminjaman buku... Sayhrul Gunawan.
Komentar