Naskah

1. Titik Itu Bernama Bima

"Tunjuk satu titik di manapun di atas peta Indonesia. Setiap anak di manapun di sana berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Di sanalah lahan-lahan pengabdian bagi Pengajar Muda terhampar. Pengajar Muda, selamat menikmati perjalanan dan petualangan di kelas-kelas kecil kalian..." Pesan Bu Yundrie sebelum 71 Pengajar Muda berangkat menuju tempat penugasan masing-masing.

Kami dibagi menjadi 10 Kabupaten : Muara Enim, Musi Banyuasin, Lebak, Kapuas Hulu, Gresik, Bima, Rote Ndao, Sangihe, Maluku Tenggara Barat, Fakfak.
Sebelum berangkat kami mengikuti serangkaian pelatihan intensif selama dua bulan di Jatiluhur.
Ya, kami adalah pemuda pemudi nekad, yang siap ditempatkan di manapun demi mencicipi sari pati Ibu Pertiwi. 

Bima, menjadi tempat tugasku. Diumumkan di minggu ketiga pelatihan.
"Bima? Di manakah itu?"
Kuubek-ubek lagi buku panduan pelatihan. 
"Oh, Nusa Tenggara Barat"
Seminggu kemudian aku baru tahu, kalau sekolah tempatku mengajar adalah SDN Oi Marai Kecamatan Tambora.

Aku tak sendiri, bersembilan bersama tim Bima lain tetapi mengajar di sekolah terpisah.
Morin, Budi, Kokoh, Dita, Petra, Slam, Gilar dan Ical akan menjadi saudara seperjuanganku selama setahun. Kami menyebut tim kami Bima Beriman. Selain karena Kabupaten Bima yang mayoritas muslim dan dulunya berbentuk kesultanan, Beriman juga akronim dari Berintegritas dan Bermanfaat jargon tim kami.

*** 

15 Juli 2012 kami dilepas, satu persatu tim terbang menuju kabupaten masing-masing. 
Setelah transit di Denpasar, akhirnya pesawat kami mendarat di Dana Mbojo.
Sesampainya di bandara Kaharudin, kami disambut oleh Pengajar Muda angkatan II (pendahulu kami) dan pejabat dinas lainnya. Pak Wagub, Kadis Dikpora, dan beberapa anggota DPRD menyambut kami.
"Aduh, macam orang penting aja" batinku.
"It's not about me, it's about them" pesan Pak Anies. Pesan Pak Anies terngiang di kepalaku. "Be humble! Kamu bukan siapa-siapa hanya orang luar yang ikut mengajar" tekadku.

Penyambutan tersebut merupakan awal dari serangkaian kegiatan lain. Selama tiga hari kami di Kota Bima untuk transisi bersama Pengajar Muda angkatan II sebelum kemudian berangkat ke desa masing-masing.


2. Menuju Oi Marai

Angin Labuan Kananga berhembus sepoi-sepoi, sedikit mengaburkan panas terik matahari yang dengan gagah menunjukan keperkasaannya.

Aku baru saja meluruskan pinggang setelah menjalankan rangkaian kegiatan rumahan hari ini. Menimba air, menggoreng ikan, makan bersama, nyuci piring. Luar biasa! Aku sangat menikmati setiap aktivitas itu, apalagi Ibu begitu baik dan lembut mengajariku berbagai hal. Aku merasa nyaman dan betah di rumah ini, tapi sayang ini bukan rumahku. Bukan pula hostfamku, ini rumah hostfamnya Morin.

Aku, Morin, Budi dan Ical ditugaskan di Kecamatan Tambora, tetapi sekolah tempat tugas kami berada di desa yang berbeda. Labuan Kananga adalah desa penempatan Morin, sekaligus kota kecamatannya sehingga kami transisi dulu di sana sebelum ke desa masing-masing.

Kemarin, kami melakukan hampir 7 jam perjalanan Bima-Tambora yang luar biasa. Apalagi kami mengambil trek jalur utara yang tak begitu biasa dilalui. Biasanya bus dai Bima menuju Tambora menggunakan jalur selatan. Jam 9 pagi aku, Morin, Budi, Ical dan PM 2 yang kami gantikan meninggalkan Bima Mantika menuju rumah Muma (Kadis Dikpora). Muma dan istri menyambut kami. Muma memerintahkan beberapa bawahannya untuk menjadi supir dan mengantarkan kami menuju Bima. 1 mobil kijang dan 1 mobil ranger. Mobil kijang diisi oleh sebagian barang kami, PM4, Bang Dedi (driver) dan Bang Deni (supir cadangan).

 Mobil ranger diisi oleh sebagian besar barang-barang kami dan PM 2. Kedua mobil tersebut disediakan oleh Muma untuk mengantarkan kami. Ternyata, Muma juga ikut mengantarkan kami dengan memakai mobil sendiri. Dari mulai rumah Muma sampai Kore, mobil melaju dengan sangat kencang. Begitu elegannya konvoi 3 mobil berplat merah dan hitam. Setelah melakukan 2 jam perjalanan, ketiga mobil pun berhenti di Kore (kabupaten Dompu) dan kami dijamu makan siang di Rumah makan Arema Jaya oleh Muma. Wah, enak sekali. Setelah santap siang, rombongan kembali melanjutkan perjalanan. Muma pun melepas kami, beliau kembali lagi ke Bima.

Aku kira setelah Muma tidak bergabung, perjalanan akan menjadi lebih santai. Ternyata dugaanku salah. Mobil  kijang dan ranger melaju lebih kencang daripada semula menembus savana Bima yang gersang dan berbatu. Kami melewati berbagai panorama alam yang luar biasa dari pegunungan, savana, sungai, pantai, jalan berbatu dan berdebu. Beberapa hewan seperti sapi, domba, ayam hutan kami temui.

Melihat  lukisan alam yang begitu indah, kami tak tinggal diam dan mencoba mengabadikannya. Akhirnya perjalanan yang begitu panjang mengantarkanku ke Oi Marai. Desa yang akan menjadi tempat tinggalku. Sungai jernih dan cukup deras yang membeah jalan utara Bima-Tambora menjadi permulaan aku tiba di Oi Marai. Oi marai memang berarti air yang lari (sungai yang deras). Kak Shally (PM 2 sebelumku) mengatakan kalau dia penat dengan kerjaan dia datang ke sungai itu.

Aku begitu menyukai sungainya. Pepohonan yang cukup rindang dan sinar matahari yang ceria membuatku merasa bisa menemukan energi kalau aku sedang merasa galau.Kami berhenti disana, menikmati dinginnya air sungai Oi arai sambil beristirahat dan berfoto ria.

Aku kira dari sungai Oi Marai akan begitu dekat dengan rumah yang akan kutinggali. Ternyata cukup jauh, jauh, jauh dan aku tidak menemukan rumah itu. Bang Dedi tidak mampir dulu ke rumahku. Mobil yang dikendarainya terus melaju tanpa mengijinkan aku meninggalkan barang-barangku dan mengintip rumah yang akan aku tinggali. Bang Dedi membawa ku dan PM 4 lainnya langsung ke Labuan Kananga, sedangkan Kak Shally dan PM 2 mampir dulu ke calon rumahku. Sedih sekali rasanya, tak bisa melihat calon rumahku dan menunjukannya ke Morin, Budi dan Ical.

 

Mobil sampai di depan rumah Morin di Labuan Kananga. Segeromblan anak-anak dan Bapak angkat Morin menyambut kami. Karena Beryl (PM 2 yang Morin gantikan) dan PM 2 lain belum datang, kamipun memilih untuk menyapa pantai yang hanya berjarak 20 meter dari rumah hostfam Morin.

Hamparan pantai berpasir hitam menyambut kami. Walaupun pantai tanpa deburan ombak, tapi cukup menghibur perasaanku yang masih merasa sedih. Ada sebuah pelangi melengkung di langit pantai yang begitu biru, pelangi yang kemudian tersembunyi di balik awan putih... perlahan-lahan langitpun berwarana jingga dan berganti senja. Kamipun  menyaksikan matahari tenggelam terjadi begitu cepat.

Malam pertamaku di Tambora di Labuan Kananga.

Jujur, aku telah jatuh cinta pada Labuan Kananga. Anak-anak yang ceria, hostfam yang begitu ramah dan penyayang, rumah panggunng Bima yang nyaman, tetangga yang ramau, laut yang luas terbentang, sinyal yang berlimpah, cahaya lampu di malam hari. Suasana dan keistimewaan yang mungkin tak akan aku jumpai di Oi Marai.

Oi Marai, semua orang yang baru mngetahui kalau aku di tempatkan di Oi Marai mereka pasti mengatakan kalembo ade di Oi Marai....

Oi Marai, aku harus jatuh cinta kepada tempat itu.. Bagaimanapun kondisinya.


3. Gelap Itu Hanya Perasaan

Dua malam di Labuan Kananga membuat aku lebih akrab dan terbiasa dengan udara Tambora. Setelah acara pisah sambut di kecamatan, aku dan Kak Shally pun pergi menuju Dusun Satuan Pemukiman 3 Oi Marai.

Kak Shally memesan 4 ojeg untuk mengangkut kami plus semua barang bawaanku, tetapi ternyata Bang Iswan (ojeg langganan Kak Shally) hanya mampu menghadirkan seorang rekannya dengan alasan tak ada tukang ojeg lain karena menonton pertandingan bola di Sori Bura. Ojeg di sini memang special, kami memintanya secara langsung dan penuh rasa hormat agar mau mengantarkan kami ke daerah tujuan. Ojeg menjadi satu-satunya transportasi antartempat disini. Daerah Tambora yang memang cukup terjal dan berkelok-kelok menyebabkan honda (sebutan terkenal untuk motor) menjadi yang terdepan membelah jalanan Tambora.

Karena hanya ada dua ojeg, 4 barangku yang segede-gede gaban dan barang Kak Shally terpaksa dibagi menjadi 2. Belum lagi ditambah masing-masing dua orang pada setiap motornya (penumpang dan pengendaranya). Bang Iswan dan temannya dengan sangat gesit menata barang kami, sehingga motornya masih menyisakan tempat untuk diduduki

Rombongan motor menuju SP 3 pun melaju dengan cukup kencang. Aku menikmati jalanan yang dilalui. Pemukiman rumah panggung khas Bima, sapi dan kambing yang melenggang bebas di jalanan,  penduduk Bima yang sedang menikmati udara sore, pantai yang berair tenang, dan hutan semak belukar menjadi pemandanganku selama perjalanan. Aku memang penyuka jalan-jalan menggunakan motor, dengan posisi sebagai penumpang..hehe. Saat di Bandung pun aku paling senang bila bepergian menggunakan motor. Mungkin itu salah satu alasan Allah menggerakan hati tim operasi IM yang menempatkan aku di daerah SP3 yang kalau mau pergi kemana-mana mengunjungi daerah lain harus menggunakan motor terlebih dahulu.

Satu jam lebih perjalanan menggunakan motor, pegal juga rasanya. Apalagi dengan tas besar yang menemplok di punggungku dan jalanan menuju SP3 yang semakin lama semakin menantang. Ternyata batuan tajam dan pasir yang runcing membuat ban motor yang aku tumpangi kempes di tengah-tengah hutan semak belukar. Abang ojeg yang aku tumpangi tampak cukup panik, aku garuk-garuk kepala memikirkan apa yang harus kami lakukan. Bang Iswan dan Kak Shally telah melaju jauh meninggalkan kami di depan. Aku melihat layar handphoneku, tak ada jaringan sama sekali. Hanya pertolongan Allah lah yang bisa menyelamatkan kami, apalagi hari sudah semakin sore dan sebentar lagi akan gelap.

Tiba-tiba terdengar suara jalanan dilindas motor, alhamdulillah datanglah dua orang Bapak-bapak yang menumpangi motor. Mereka pun menanyakan apa yang terjadi. Aku menjelaskan dengan begitu detail apa yang terjadi dan maksud kedatanganku ke SP 3. Pak De Kuswan dan Pak Burhan, nama Bapak-bapak tersebut. Mereka baru dari SP 2 dan akan menuju ke SP 4. SP adalah singakatan dari Satuan Pemukiman yang digunakan untuk menamai daerah transmigrasi.

Pak De Kuswan ternyata mengenali Ibu angkatku, beliau pun menawarkan untuk mengantarkanku sampai rumah Ibu angkatku sedangkan Pak Burhan menunggunya sambil berjalan perlahan-lahan.

Subhanallah, aku sangat tersentuh dengan kebaikan hati mereka. Awalnya Pak De menawarkan agar dirinya yang berjalan menuju SP 4 biar Pak Nurdin mengantarku, tetapi pak Nurdin menolaknya dan memilih dia yang  berjalan. Aku terharu melihat sikap mereka yang saling ingin mendahulukan saudaranya, itsar mungkin kata yang cukup tepat untuk sikap yang mereka tunjukan.

Pak De Kuswan akhirnya mengantarkanku menuju SP 3, Pak Burhan berjalan menuju SP 4 sambil menunggu Pak De kembali memboncengnya dan Abang ojeg yang aku tumpangi sebelumnya menuntun ojegnya dengan pelahan menuju tempat tambal ban yang ditunjukan Pak De Kuswan. Agak heran juga di daerah hutan ternyata ada tambal ban. Ternyata tambal bannya cukup jauh dan tetap harus menyelusuri jalan yang begitu panjang dan sedikit terjal.

Hari sudah agak gelap ketika aku sampai di depan rumah keluarga angkatku. Walaupun SP 3 tak berlistrik dan tak bersinyal, kebaikan hati Pak De Kuswan, Pak Burhan dan Abang ojeg membuat malamku hari itu tidak terasa begitu gelap.

Kebaikan dan ketulusanlah yang membuat suasana gelap mendadak menjadi benderang.

“Gelap itu hanya perasaan, SISWA!!!” (dengan intonasi seperti Pelatih Kopassus) bisikku, menghibur diri sendiri.






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lagu Gempa

Andragogi dan Fasilitasi

12 Teknik Memasak yang Perlu Diketahui Para Ibu