Dina Hamparan Sajadah

Akhirnya selepas salat Isya takbir mulai menggema, memuji keagungan-Nya. Berbeda dengan malam takbir tahun-tahun sebelumnya, kali ini lebih sepi mungkin karena masalah penentuan kapan tanggal satu syawal sehingga orang-orang di daerah saya tidak berani bertakbir dan memukul bedug sebelum ada keputusan dari pemerintah.
Dan ternyata lebarannya gak jadi besok, jadinya hari Rabu..hoho.. yang sedang takbir pun tiba-tiba berhenti, undur diri.
Lusa  lebaran.. Insya Allah.. ada kedukaan setiap menyongsong hari Lebaran. Perasaan rindu terhadap orang-orang tersayang yang telah tiada. Lebaran kali ini Alhamdulillah anggota keluarga saya bertambah. Ponakan lahir sembilan bulan yang lalu, bibi yang paling bungsu menikah beberapa bulan yang lalu.
Segala puji bagiMu ya Rabb, yang telah mengatur ini semua.
Lebaran, selain memberikan rasa rindu dan ketenangan ada juga kisah lucu yang selalu terjadi saat Lebaran, saat salat ied lebih tepatnya.

Di daerah saya, warganya selalu salat ied di mesjid Nurul Huda. Mesjid yang hanya terpisahkan satu rumah dengan rumah saya. Cukup luas dan nyaman, mampu menampung 120 orang lebih. Sebenarnya ada dua mesjid lain, hanya saja mesjid ini yang paling luas dan biasa dipakai untuk salat Jumat, salat Ied, bahkan sampai pengajian MUI ibu-ibu.
Kalau hari-hari biasa, mesjid Nurul Huda bisa memuat jamaah-jamaahnya. Namun berbeda dengan saat salat Idul Fitri, selalu saja ada jamaah yang tidak tertampung sehingga banyak yang salat di teras bahkan mepet ke jalan. Maklum saja, penduduk daerah saja tiba-tiba bertambah sepertiganya. Banyak yang mudik ke daerah saya termasuk saya salah satunya.

Entahlah tradisi ini mulai kapan berjalan, nampaknya sejak mesjid ini berdiri yaitu tradisi menggelar sajadah sepagi mungkin. Setiap warga berduyun-duyun membawa semua sajadah yang akan dipakai salat ied oleh seluruh anggota keluarganya, lalu menggelarnya di tempat strategis yaitu shaf kedua dari belakang. Mesjid Nurul Huda berbentuk pesegi panjang, sehingga shaf akhwan dan ikhwan bersebelahan dipisahkan hijab tidak depan belakang.
Begitupun dengan keluarga saya, dulu saya lah yang mendapat tugas menggelar sajadah di mesjid. Saya membawa 3 sajadah yaitu untuk Mama, saya, dan adik perempuan saya. Adik yang paling kecil biasanya numpang di sajadah kami bertiga yang digelar berderet.  Bapak saya tak pernah nitip sajadah, biasanya sajadahnya langsung dibawa saat mau salat ied begitu pun dengan kedua kakak laki-laki saya. Nampaknya tradisi gelar sajadah hanya terjadi di jamaah akhwat saja.
Dari jam empat pagi sebelum subuh, saya sudah menggelar sajadah di tempat strategis. Ini dilakukan agar dapat tempat salat di dalam mesjid. Kalau kesiangan dikit, mesjid sudah penuh sajadah dan alhasil harus salat di teras.
Semua orang berlomba-lomba menggelar sajadah, tak jarang sajadahnya sudah dititipkan sejak malamnya  kapada orang yang dipercaya biar pagi-pagi langsung digelarkan.
Masalahpun sering terjadi, mulai dari posisi sajadah yang berpindah tempat, sajadahnya tertukar, bahkan menempati sajadah orang lain pun terjadi. Dan itu tak jarang mengganggu kekhusuan saat bertakbir sambil menunggu salat ied dimulai. Ada juga beberapa kasus yang berbuntut panjang, saling ‘ngambek’ karena merasa didzolimi akibat sajadahnya yang ditempatin orang lain atau dipindahkan posisinya.
Ada sebuah keluarga yang cukup disegani di daerah saya, biasanya mereka datang beberapa menit sebelum salat ied dimulai dan mereka bukan termasuk orang-orang yang menyimpan sajadahnya di mesjid lebih awal. Tentu saja sudah tidak akan kebagian tempat di dalam mesjid. Tetapi karena mereka termasuk orang yang disegani, kami harus rela saat posisi sajadah kami ditempati mereka. Itu takan menjadi masalah apabila tidak mamakan tempat yang terlalu banyak, namun hal yang terjadi adalah sebaliknya. Tak jarang kami pun mulai memposisikan shaf dengan seefektif dan seefisien mungkin. Apabila posisi salatnya masih berdiri tak ada masalah, tetapi masalah timbul saat duduk tahiyat. Pernah, kaki saya diduduki sama ibu-ibu yang posturnya dua kali lebih besar dari tubuh saya. Ada juga kisah lainnya. Saya pernah kehilangan mukena bagian bawah saat selesai salat ied, sepertinya jatuh saat musofaha. Saya baru sadar saat tiba di rumah dan dicari di mesjid ternyata tidak ada. Nenek bibi  saya inisiatif mengumumkan itu di mesjid dan pengajian ibu-ibu, dan Alhamdulillah bawahan mukena saya kembali walaupun berbulan-bulan kemudian.
Subhanallah ada-ada kisah unik saat Lebaran..  apa yang akan terjadi lusa? Allahu’alam..
Jalani saja, nikmati setiap episode kehidupan yang telah Allah siapkan,,
Allahuakbar Allahuakbar Allahukakbar Allahukakbar Laillahailallahu Allahuakbar Allahuakbar walilah ilham

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lagu Gempa

Andragogi dan Fasilitasi

12 Teknik Memasak yang Perlu Diketahui Para Ibu