Saat Tanah Sendiri Tak Bisa Memberikan Kehidupan
“Saya jadi transmigran buat nyari hidup, bukan nyari mati”
kalimat tersebut disampaikan berkali-kali oleh Pak Rohim dalam obrolan kami
selama dua jam lebih. Lelaki berusia 60 tahunan ini bercerita padaku tentang
sejarah hidunya sebagai seorang transmigran. Berawal dari kesusahan hidup di
daerah Pandeglang, dia bersama 60 KK lainnya mendaftar menjadi transmigran.
Irian menjadi tujuan awalnya, namun karena tertinggal Pak Rohim pun tidak
berjodoh dengan tanah Irian. Setelah melakukan perjalanan panjang dan
terkatung-katung akhirnya sampailah di Bima, sebuah tempat yang Pak Rohim
sendiripun belum tahu dimana letaknya.
“Yang penting saya bisa hidup” katanya. Awalnya bekerja
sebagai penambak di daerah Sape. Kemudian pindah ke daerah Doro’o sampai
akhirnya menetap di SP 3 Tambora. “Saya tidak punya tanah, saya hanya menjaga
rumah transmigran yang tidak mau tinggal disini. Saya mengambil jadupnya selama
setahun. Kalau sudah setahun saya cari rumah yang tidak ditempati lagi dan
mengambil jadupnya. Tapi alhamdulillah, sekarang saya bisa mengelola tanah anak
saya di SP3 ini. Anak saya pergi ke Dongo ikut istrinya”.
“Sebenarnya saya rindu tinggal di Pandeglang, tapi gimana
lagi. Kulantaran disana tidak bisa
hidup, jadi we saya jadi transmigran.
Alhamdulillah, saya pernah 2 kali pulang ke Pandeglang, tapi da sodara saya juga tidak banyak disana.
Yang lain jadi transmigran juga ke Irian. Yah, gimana lagi. Dari pada tidak
bisa hidup di tanah sendiri, mending saya nyari hidup di tanah orang. “
***
“Kakak akan pergi ke Malaysia lusa, mau jadi buruh sawit saja.
Disini panennya gagal terus, rugi terus gak ada untungnya Cuma dapat capek aja.”
Kata Kak Rafi, kakak angkatku. Aku tertegun didepannya. Tadi siang Kak Rafi
(anak kelima orang tua angkatku) datang ke SP 3 jauh-jauh dari Dompu bersama
Kak Muis (menantu kedua orang tua angkatku). Walaupun baru bertemu beberapa
jam, aku bisa merasakan kasih sayang dan ketulusan mereka sebagai kakak
angkatku. Kak Rafi menasehatiku banyak hal. Tentang bergaul dengan masyarakat
tansmigran dan menyikapi berbagai isu tentangku di SP3. Agak kaget juga saat
mengetahui kedatangan Kak Rafi ternyata untuk pamitan karena akan pergi ke
Malaysia.
“Sudah banyak tetangga Kakak yang pergi ke Malaysia,
kebanyakan berhasil. Kakak juga mau berhasil seperti mereka. Disini sudah usaha
macam-macam dari mulai nanam jambu mete sampai kacang tanah, tapi hasilnya tak
bagus. Kakak pergi paling lama 4 tahun saja. Kakak mau ajak anak dan istri
Kakak. Kakak ingin bisa membuat mereka hidup bahagia. Ndak apa-apa harus pergi
ke negri orang juga yang penting bisa hidup dan tak buat orang lain susah “
“Kakak
senang ada Nani di rumah. Nani bisa menemani Mama Sei dan Bapak Emo. Anaknya
jauh-jauh semua. Di Batam, Semarang, Mataram, Bima. Biar Mama Sei dan Bapak tak
kesepian."
Komentar