Saung Belajar
Riuh suara anak-anak tertawa dan mengobrol di depan rumah
orang tua angkatku. Aku baru saja melipat mukena selepas shalat Ashar. Mereka
sudah datang rupanya. Rutin, setiap hari dari mulai ba’da ashar sampai mau
magrib anak-anak datang, bermain dan belajar di saung di depan rumah orang tua
angkatku. Tidak hanya muridku yang kelas 6 saja, anak-anak kelas 1 sampai yang
sudah lulus SD pun datang. Tak banyak memang, hanya bersebelas atau bertiga
belas. Tetapi jumlah itu jauh lebih banyak dibandingkan muridku sendiri yang
hanya 8 orang. Apalagi dusun tempatku tinggal tergolong sepi. Sebuah pemukiman
transmigrasi di kecamatan Tambora yang kian hari semakin sepi ditinggalkan
penduduknya. Selalu saja ada yang pergi ke Bima. Sehari, dua hari atau bahkan
berhari-hari dan tak jarang membawa anaknya yang masih sekolah ikut. Atau
justru mereka pergi meninggalkan rumah-rumah tansmigran disana dan kembali ke
tempat asalnya karena merasa tanah SP3 tak cukup subur untuk menghidupi mereka.
Tetapi tak semuanya, transmigran yang ulet akan dengan teliti mengolah lahan
mereka, menanami dengan jmbu mete, kacang tanah, mangga, dan tanaman lain
sehingga mendapatkan untung puluhan juta saat musim panen tiba. Seperti orang
tua angkatku. Mereka adalah transmigran yang terbilang sukses sehingga telah
mengganti rumah transnya dengan rumah batu bata dan berhasil mendapatkan
keuntungan puluhan juta dari hasil panen jambu mete dari kebunnya. Rata-rata
penduduk satuan pemukiman transmigrasi yang mulai dibagun tahun 2005 ini bermata
pencaharian berkebun.
Sore itu pun, awalnya hanya Roy, Suharni dan Haryadin yang
datang ke saung tempat kami biasa belajar. Aku mengambil satu buah dus
buku-buku cerita, memperlihatkannya kepada mereka. Masih buku-buku cerita lama
yang sudah mereka lihat dan baca kemarin. Tetapi mereka selalu antusias membuka
setiap halamannya lalu membacanya.
“Bu, kita belajar matematika saja” pinta Suharni, murid yang
seharusnya sudah duduk di kelas 1 SMP.
“siip!” jawabku sambil menuliskan beberapa soal perkalian.
Aku buat tabel perkalian 1-10 dan meminta Suharni mengerjakannya. Suharni yang
menurut PM sebelumku mengalami disgrafia ternyata bisa mengerjakan semua soal
dengan mudah. Dia lebih menyukai matematika dibanding membaca buku cerita yang
aku bawa. Yah, memang disgrafia.
Roy dan Haryadin mulai tertarik, mereka sama-sama duduk di
kelas 5. Aku berikan soal serupa, dengan jumah soal yang dikurangi. Hanya
perkalian 1-5. Roy dan Haryadin nampak kesulitan. Aku pun menerangkan konsep
dasar perkalian seperti yang disampaikan Bu Ruth dan Bu Elke sewaktu training
intensif, wadah dan isi. Roy dan Haryadin bisa memahaminya dan dengan penuh
semangat mengerjakan soal perkalian 1-5.
Mereka selalu tampak gembira saat aku memberikan angka 100
pada kertasnya.
“Kalian memang anak-anak pintar” pujiku.
Semakin sore, saung semakin ramai. Arif datang menaiki sepeda
sambil membonceng Bilo diikuti Nisa yang berlari mengekor sepeda Arif. Arif (kelas
6) dan Nisa (kelas 2) Kakak adik, sedang
Bilo (kelas 1) tetangga mereka.. Kemudian datang Amar (kelas 6) yang datang naik motor bersamaan dengan
datangnya Ilham, Hermasyah, Gunawan, Azwar, Arjunaidin, Apin
dan Atun. Hijrah pun datang
dengan naik motor. Ah, anak-anak itu. Mereka kecil-kecil tapi sudah pandai naik
motor menyelusuri jalan berbatu dan berkerikil di sepanjang jalan SP 3 itu. Rumahku yang berada dipinggir jalan cukup
strategis untuk mereka datangi. Agak jauh memang letak dari RT satu ke RT yang
lain hampir satu Km lebih. Rumahku berada di Rt 2, sedang anak-anaknya ada juga
yang tinggal di RT 6. Luar biasa sekali semangat mereka untuk belajar.
Senangnya kalau sudah melihat saung blajar mulai ramai.
Sangat ramai. Mereka berebut membaca buku dan bertanya tentang hal-hal yang aku
sendiri sulit menemukan jawabannya. Kadang-kadang aku juga kehabisan ide untuk
membuat saung belajar selalu menyenangkan dan tidak membuat bosan. Kegiatan di
Saung Belajar aku buat agak berbeda setiap hari, mulai dari membaca buku,
bercerita, origami, menggambar, mengerjakan soal matematika. Kegiatan yang
paling mereka senangi adalah mengerjakan soal matematika atau tebak tempat di
peta dunia.
Sore hari selalu belalu dengan cepat. Tahu-tahu matahari
sudah menyusup dan Pak mansyur sudah mengaji di Mesjid tanda sebentar lagi
adzan magrib. Daerah kami tidak berlistrik, tetapi satu toa di mesjid
menggunakan tenaga surya yang dipakai untuk menyeru warga SP 3 sholat magrb dan
isya.
Saat adzan berbunyi, anak-anakpun bubar. Alhamdulillah rumah
orang tua angkatku cukup dekat dengan mesjid sehingga dengan agak mudah aku
mengarahkan anak-anak untuk segera sholat dan mengaji di mesjid. Ada yang
dengan semangat langsung ke mesjid karena sudah mempersiapkan mukena atau
sarungnya, ada juga yang lagsung pulang ke rumahnya.
Ah, anak-anak itu. Tanpa mereka hari-hariku di SP 3 terasa sunyi
senyap dan gelap.
Belajar yang rajin Nak, kelak kalianlah yang akan membuat SP
3 ini terang benderang dengan prestasi-prestasi kalian.
Komentar