Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2012

Saung Belajar

Gambar
Riuh suara anak-anak tertawa dan mengobrol di depan rumah orang tua angkatku. Aku baru saja melipat mukena selepas shalat Ashar. Mereka sudah datang rupanya. Rutin, setiap hari dari mulai ba’da ashar sampai mau magrib anak-anak datang, bermain dan belajar di saung di depan rumah orang tua angkatku. Tidak hanya muridku yang kelas 6 saja, anak-anak kelas 1 sampai yang sudah lulus SD pun datang. Tak banyak memang, hanya bersebelas atau bertiga belas. Tetapi jumlah itu jauh lebih banyak dibandingkan muridku sendiri yang hanya 8 orang. Apalagi dusun tempatku tinggal tergolong sepi. Sebuah pemukiman transmigrasi di kecamatan Tambora yang kian hari semakin sepi ditinggalkan penduduknya. Selalu saja ada yang pergi ke Bima. Sehari, dua hari atau bahkan berhari-hari dan tak jarang membawa anaknya yang masih sekolah ikut. Atau justru mereka pergi meninggalkan rumah-rumah tansmigran disana dan kembali ke tempat asalnya karena merasa tanah SP3 tak cukup subur untuk menghidupi mereka. Tetapi t

menunggu...

Gambar
Kami hanya bisa menunggu PLTA Oi Marai akan segera diperbaiki sehingga kami bisa melihat indahnya cahaya lampu di malam hari Kami hanya bisa menunggu provider hati membuat BTS di daerah kami sehingga tak usah berkilo-kilo berjalan kaki untuk tau kabar terbaru ibu pertiwi kami hanya bisa menunggu jalan dan 3  jembatan kayu diperbaiki sehingga tak usah khawatir lagi ban pecah atau terjatuh saat perjalanan menuju Oi Marai tapi kami tak bisa menunggu karena umur anak selalu bertambah setiap hari sehingga mulai beraksi dengan langkah kecil kami melunasi janji mencerdaskan anak negri ^_^v
memeluk malam hanya aku dan diriku menikmati setiap putaran waktu menatap gelap yang pekat temaram malam dalam kelam kesunyian menjadi hiburan  

Saat Tanah Sendiri Tak Bisa Memberikan Kehidupan

“Saya jadi transmigran buat nyari hidup, bukan nyari mati” kalimat tersebut disampaikan berkali-kali oleh Pak Rohim dalam obrolan kami selama dua jam lebih. Lelaki berusia 60 tahunan ini bercerita padaku tentang sejarah hidunya sebagai seorang transmigran. Berawal dari kesusahan hidup di daerah Pandeglang, dia bersama 60 KK lainnya mendaftar menjadi transmigran. Irian menjadi tujuan awalnya, namun karena tertinggal Pak Rohim pun tidak berjodoh dengan tanah Irian. Setelah melakukan perjalanan panjang dan terkatung-katung akhirnya sampailah di Bima, sebuah tempat yang Pak Rohim sendiripun belum tahu dimana letaknya. “Yang penting saya bisa hidup” katanya. Awalnya bekerja sebagai penambak di daerah Sape. Kemudian pindah ke daerah Doro’o sampai akhirnya menetap di SP 3 Tambora. “Saya tidak punya tanah, saya hanya menjaga rumah transmigran yang tidak mau tinggal disini. Saya mengambil jadupnya selama setahun. Kalau sudah setahun saya cari rumah yang tidak ditempati lagi dan mengambil