Cerita Fasilitasi (1) Memfasilitasi Masyarakat


Pertama kali mengenal kata fasilitasi saat training intensif calon Pengajar Muda IV Indonesia Mengajar, 8 tahun yang lalu.
Di sebuah sesi pengembangan masyarakat, kami (calon Pengajar Muda) diminta untuk melakukan simulasi fasilitasi rapat pengambilan keputusan sebuah sekolah. 

Ada yang berperan sebagai fasilitator, kepala sekolah, guru, masyarakat, orang tua, murid dan stake holder pendidikan (pengawas, dll) dengan karakter yang sudah ditentukan. Saya berperan sebagai orang tua siswa yang kurang peduli pendidikan anaknya.

Failed! Proses fasilitasi tersebut gagal. Tidak jelas ending-nya seperti apa karena kelamaan pembahasan dan waktu simulasi sudah habis. 
Kesimpulannya, kami belum memahami apa dan bagaimana fasilitasi.
Saat training berakhir pun saya belum mudeng banget tentang fasilitasi, untunglah dapat menangkap bahwa poin penting  bahwa sebagai fasilitator tidak boleh mementingkan pendapat kita sendiri, harus memfasilitasi semua kepentingan pihak-pihak yang terlibat. Saat itu kami lebih banyak belajar tentang fasilitator pengembangan masyarakat.

Ternyata kasus mirip simulasi tersebut beneran saya alami saat bertugas. Saat saya memfasilitasi para orang tua siswa lulusan SD yang tidak bisa melanjutkan sekolah dengan  kepala sekolah SMP. 

Isunya adalah beberapa siswa lulusan SD tidak bisa melanjutkan sekolah. Penyebabnya tidak ada sekolah di dusun kami, SMP terdekat ada di desa utama yang letaknya cukup jauh. Untuk menuju ke sana membutuhkan kendaraan. Padahal tidak ada angkutan umum yang bolak-balik setiap hari, satu-satunya angkutan umum yang lewat adalah bus atau truk yang bergantian beroperasi menuju kota. Itupun tidak setiap hari.

Pak Sapii, Guru SD kelas 6 membawa siswa yang akan ujian nasional di SD Kawinda To'i. Inilah jalan yang harus dilalui setiap hari jika anak dari dusun kami ingin sekolah SMP terdekat


Anak-anak lulusan SD yang bisa bersekolah hanyalah yang mempunyai saudara di dekat SMP baik yang di desa utama ataupun di kota. 

Saya merasa kasihan dengan anak-anak lulusan SMP yang tidak bisa bersekolah, padahal mereka mempunyai semangat cukup tinggi. Beberapa anak bahkan sering ikut belajar bersama saya setiap hari. Setelah berdiskusi dengan pihak guru-guru SD, akhirnya tercetus ide membuat SMP Satap. Tugas saya membantu proses pengajuan ke dinas pendidikan, tugas guru-guru SD mendata siswa lulusan SD yang tidak lanjut sekolah namun ingin bersekolah.

Pengajuan SMP Satap hampir saja disetujui, namun belum bisa dieksekusi. Karena sudah ada pengajuan SMP Satap dari kecamatan yang sama, sehingga itulah yang akan diproses lebih dulu.
SMP satap yang saya ajukan entah kapan akan disetujui. Sempat merasa kecewa, mengingat saya di sana tinggal menghitung bulan.

Ternyata, ikhtiar mengajukan SMP Satap didengar oleh kepala sekolah SMP terdekat. Dia pun menghubungi saya (untungnya saat sedang berkunjung ke desa teman PM sehingga ada sinyal). 

Beberapa hari kemudian, Bapak Kepala Sekolah datang ke dusun kami untuk mendiskusikan anak-anak yang tidak melanjutkan ke SMP.
Alhamdulillah pada saat itu, para orang tua yang anaknya ingin melanjutkan SMP hadir. Saya berusaha memfasilitasi proses diskusinya, meminta para orang tua menyampaikan harapan dan tantangan yang dihadapinya, lalu mempersilakan kepala sekolah SMP menyampaikan bentuk support yang bisa dia berikan.
Hasilnya tercapai kesepakatan pihak SMP akan menyediakan tempat tinggal untuk anak yang ingin melanjutkan sekolah. Ada beberapa rumah dinas guru yang kosong yang bisa digunakan. Orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya di SMP dapat menghubungi kepala sekolah untuk difasilitasi rumah dinas bagi anak-anak. Nanti akan ada guru yang bertugas mengawasi mereka. 

Alhamdulillah..
Senang sekali bisa dicapai kesepakatan yang sama-sama menguntungkan.

Bagaimana follow up nya?
Saya kembalikan ke pihak orang tua dan pihak SMP. Karena itu sudah bukan menjadi wewenang saya, dan masa saya bertugas di sana segera berakhir.

Pengalaman tersebut memberikan pembelajaran berharga bagi saya. Dapat
memfasilitasi proses pengambilan keputusan di masyarakat adalah capaian besar. Sebelum menjadi PM saya orang yang ciut jika berhadapan dengan kerumunan masyarakat. 



Setelah kejadian tersebut menjadi lebih percaya diri. Saya yakin, jika saya lebih berempati dengan sekitar, menggali harapan dan kebutuhan mereka, berusaha berperan sesuai dengan kapasitas saya maka ikhtiar kecil yang saya lakukan bisa berdampak.

Hasilnya tak selalu seperti apa yang diharapkan, namun fokus pada ruang kendali saya membuat saya bisa lebih legowo.

Hmm, pernah kah saya gagal memfasilitasi?
Pernah! Saat memfasilitasi diskusi kenaikan gaji guru honorer di sekolah. Isu uang sangat sensitif, seharusnya saya tidak melibatkan diri. Saya juga saat itu cenderung kurang netral, saya sedikit memihak guru-guru honorer. Padahal dalam fasilitasi, prinsip neutrality sangat penting. Dari sana saya belajar untuk lebih tahu batasan dan ruang kendali saya dalam memfasilitasi.


Itulah cerita saya tentang memfasilitasi proses pengambilan keputusan (decision making) dan pemecahan masalah (problem solving).
Selain dalam dua hal di atas, fasilitasi pun dilakukan untuk proses pembelajaran (learning), ini yang lebih sering saya lakukan selama empat tahun terakhir ini.

Memfasilitasi selalu memberikan cerita-cerita seru dan pengalaman berharga. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lagu Gempa

12 Teknik Memasak yang Perlu Diketahui Para Ibu

Andragogi dan Fasilitasi