Apa Makna Berdaya Bagiku?

Apa makna berdaya bagiku? 
Apakah aku sudah merasa berdaya? 

Pertanyaan pemantik sekaligus ide prompt jurnal hari ke-1 Binar Menulis Gerakan Binar @binar_bermainbelajar
Mari berefleksi dan flashback tentang perjalanan hidup yang telah kulalui dengan berbagai ceritanya tentang berdaya. 




Aku tidak benar-benar tahu makna berdaya hingga menemukan kondisi merasa tidak berdaya. Pengalaman pertama ketidakberdayaanku kurasakan saat SMP karena  merasa mempunyai ukuran tubuh yang lebih mungil dan pendek dari teman-teman lainnya. Jika saat SD masih ada teman-teman sepantaran, koq ketika memasuki SMP tinggi badanku tidak bertambah signifikan dibanding teman lainnya. Ketidakberdayaanku sangat terasa ketika aku yang selalu rajin latihan Pramuka dan Paskibra tidak ter-notice oleh para kakak kelas, sehingga tidak terpilih untuk mengikuti berbagai kegiatan seperti kemah atau perlombaan sedangkan teman yang jarang latihan bisa melenggang bebas mengikuti berbagai kegiatan hanya karena badannya tinggi. Pengalaman tersebut cukup mempengaruhiku dan membuat tidak percaya diri. 
Namun, ternyata Allah memberikan berkah otakku yang lumayan encer sehingga selalu menjadi juara kelas. Para guru mengajaku mengikuti lomba cerdas cermat dan beberapa diantaranya menjadi juara. Hal itu rupanya diketahui kakak kelasku di kegiatan ekstrakurikuler dan guru pembimbingnya sehingga di kegiatan pramuka selanjutnya aku selalu diajak untuk perwakilan perlombaan-perlombaan yang mengandalkan kognitif. Kalau baris berbaris aku selalu menjadi cadangan. 

Dari pengalaman tersebut aku belajar bahwa Allah sudah memberikan kelebihan kepada setiap orang, jangan merasa tidak berdaya hanya karena tidak bisa melakukan suatu hal atau mempunyai kelebihan seperti orang lain. 

Makna berdaya baru benar-benar kupahami setelah menjalani fase sebagai ibu. Tentu dengan pemantik merasa tidak berdaya di titik terendah. Walaupun menjadi ibu yang tinggal di rumah adalah pilihanku, nyatanya tak semudah yang kupikirkan. Aku sempat mengalami post power syndrom setelah melahirkan. Ada masa-masa aku tidak mau bertemu dengan orang lain, bahkan teman-teman yang sebelumnya sangat akrab. Aku menutup diri karena merasa minder sebagai ibu baru dengan segala kondisiku saat itu. Dari pengalaman tersebut aku belajar untuk lebih menghargai dan memberikan privasi jika ada teman yang baru melahirkan untuk tidak segera menengoknya. Juga selalu mengkonfirmasi kesediaan tuan rumah jika aku akan berkunjung. 

Kemudian aku mencoba mencari aktivitas baru yang membuatku merasa percaya diri lagi, merasa berdaya. Qadarullah dipertemukan dengan teman-teman online yang rajin menjual buku premium. Aku mencoba ikut menjual buku dan alhamdulillah merasa banyak dipercaya para customerku. Hingga pernah mencicipi komisi bulanan melebihi gaji sewaktu aku masih bekerja. 
Namun, apakah setelah itu aku merasa berdaya? 
Ternyata tidak. Ada hal-hal yang membuatku merasa tidak nyaman dengan aktivitasku saat itu, misalnya saat menawarkan buku mahal kepada para orang tua hingga mereka tertarik untuk ikut arisan atau mencicil buku padahal jika  melihat pengasilan mereka saat itu seharusnya lebih memprioritaskan hal lain. Atau ada salah satu temanku yang ingin menitipkan kembali menjualkan bukunya karena tidak sebagus dan sesuai untuk anaknya. Aku merasa bersalah kepadanya karena mungkin akulah yang membuatnya membeli buku tersebut padahal dia tidak butuh. Kadang aku merasa embel-embel pejuang literasi adalah kedok supaya bisa menjual buku dan mendapat komisi. Padahal banyak buku biasa yang harganya lebih murah namun isinya bagus, walaupun dari segi packagingnya biasa saja. 
Hal lainnya yang ternyata sangat menggangguku adalah aku tidak bisa membagi waktu dengan baik. Banyak waktuku bersama Adskhan disisipi dengan memegang HP karena harus melayani calon customer. 

(Bersambung ya, tulisannya) 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lagu Gempa

12 Teknik Memasak yang Perlu Diketahui Para Ibu

Andragogi dan Fasilitasi