Bonus Cinta dari Arif dan Nisa
Sosok tubuhnya yang kecil tak menampakan Arif seperti anak
kelas 6. Anak-anak kelas 6 di sekolah tempat saya mengajar memang terlihat
lebih mungil jika dibandingkan dengan anak kelas 6 di kota. Arif Irawan menjadi
satu-satunya yang terbiasa puasa satu bulan penuh tatkala anak-anak yang lain masih
ogah-ogahan puasa ramadhan. Begitupun Nisa, adik Arif yang baru duduk di kelas dua ini sudah mulai terbiasa
untuk puasa setiap hari walaupun hanya sampai adzan dzuhur. Saya banyak belajar
dari mereka berdua, bukan hanya karena
rajin puasa, mereka banyak mengajarkan saya tentang perjuangan, kesederhanaan
dan kedermawanan.
Hampir setiap sore, Arif dan Nisa pergi keliling pemukiman
SP 3 untuk menjajakan dagangannya. Letak rumah disini tidak saling berdekatan
seperti rumah-rumah di kota atau pemukiman perkampungan. Disini, dari rumah satu
ke rumah lain cukup jauh berjarak kurang lebih 15 meter. Begitupun dari RT ke
RT, hampir satu kilo meter. Dari mulai
RT 6 sampai RT 1 Arif dan Nisa menawarkan
pukis yang dibuat Ina Arif (Ibunya Arif), tomat, kol, cabai atau sayuran apa
saja. Setelah berjualan, Arif dan Nisa tak pernah melewatkan untuk bergabung bersama
teman-temannya yang sedang belajar di paruga (saung) di depan rumah orang tua
angkat saya. Walaupun keringat masih membasahi dahi, kedua kakak beradik itu tetap
antusias untuk mengerjakan soal, mendengarkan cerita atau membaca buku.
Seperti sore itu, hari ke sembilan belas bulan Ramadhan.
Wiwin, Din dan Azis sudah datang ke paruga tempat kami biasa belajar sore hari.
“Ibu pergi telpon sebentar yah, kalian tunggu dulu disini.
“ Kata saya sambil menyodorkan 2 folder
box buku cerita. Dengan setengah berlari saya menuju tebing sinyal untuk
menelpon dan membuat janji dengan teman-teman Pengajar Muda Bima, sore itu memang
jadwal saya ke tebing sinyal. 15 menit kemudian sampailah di tebing sinyal.
Mencari spot sinyal, menelpon teman PM dan menghubungi orang tua. Hanya 5
menit. Sayapun kembali berlari menuju rumah, khawatir anak-anak yang menunggu
merasa bosan kemudian bubar. Lelah rasanya, matahari sedang terik-teriknya,
kerongkongan rasanya seperti terbakar. Sangat haus dan panas.
Tiba-tiba di belokan RT 2 saya melihat Arif dan Nisa sedang
menjual dagangannya. Saya berhenti sejenak sambil terengah-engah.
“Abis pergi telpon Bu” tanya Nisa
“Iya, aduh panas sekali yah. Debunya juga banyak” keluh
saya.
“Ah Ibu, jalan sedikit ke pantai saja sudah capek” ledek
Arif sambil tertawa.
Malu rasanya, yah Arif dan Nisa hampir setiap hari berjalan
mengelilingi SP 3 tapi mereka tak pernah mengeluh seperti saya.
“pergi belajar ke rumah Ibu gak?” tanya saya menngalihkan
topik.
“Iya Bu, ini kita baru mau mau pergi belajar ke tempat Ibu”
Saya terharu. Mereka seolah tak pernah kehilangan semangat
dan energinya. Kamipun pergi beringan menuju rumah saya.
“Ini Bu” ujar Arif sambil memberikan bungkusan pukis. 11 jumlahnya padahal saya hanya memberinya
uang Rp 5.000 yang seharusnya diganti dengan 10 saja.
“Kelebihan Rif” ujar saya.
“Bonus Bu” Arif tersenyum.
“kalau begitu ini bonus dari Ibu buat Arif!” Saya
menyodorkan uang Rp 1.000. Namun seketika Arif tampak tak setuju dan agak
tersinggung.
“Saya kasih bonus Ibu, tak usah Ibu kasih uang lebih”. Saya
pun mengangguk dan tersenyum. Tak mau saya egois mengambil pahala Arif berinfaq
di bulan ramadhan.
Tak hanya saat itu, Arif dan Nisa selalu memberikan bonus
apabila saya membeli dagangannya.
Sebenarnya bukan
hanya bonus pukis yang saya dapatkan setiap kali membeli jajanan kepada mereka,
ketika melihat sosok mereka yang tak pernah terlihat lelah dan mengeluh saya
pun mendapat bonus asupan tenaga dan motivasi untuk bisa lebih optimal mengajar
mereka. Gak rela rasanya kalau dua anak cerdas ini dan anak-anak di SP 3
lainnya hanya berakhir sebagai petani jambu mete saja.
Komentar