Mimpi, Dream, むそう


 
Saat ditanya apa mimpimu? Maka langsung saya jawab, Mendiknas! Reaksi sang penanya bermacam-macam. Ada yang mengatakan, “wah tinggi juga ya Bu”, “Amin”, tetapi kebanyakan tersenyum, diam dan melanjutkan obrolan tanpa membahas tentang mimpi lagi.
Yakinkah saya dengan mimpi saya? Insya Allah! Terlalu tinggi? Mungkin! Mengawang-ngawang? Oh tentu tidak (gaya Sule)! Lalu apa yang saya inginkan dari mimpi itu? Saya ingin bermanfaat untuk sebanyak-banyaknya ummat. Apakah harus dengan menjadi mendiknas saya baru bisa bermanfaat? Tidak! Sekecil apapun ‘judul’ kita, kita bisa menjadi bagian dari batu bata peradaban ini. Mengapa saya ingin menjadi mendiknas, karena bidang yang saya pilih adalah pendidikan. Sudah cukup kah alasan-alasan mengapa saya bermimpi menjadi Mendiknas? Tergantung dari mana menilainya.
Konsekuensi dari saya bermimpi tinggi adalah saya harus membuat tahapan-tahapan untuk merealisasikannya. Mewujudkan mimpi itu ibarat makan seekor sapi, tidak langsung ditelan bulat semuanya. Sepotong demi sepotong. Ada yang dibuat rendang, sate, sop, dan lain-lain. Tahap awal yang saya lakukan adalah memantaskan diri menjadi Mendiknas. Seperti apa siy Mendiknas seharusnya.
Saya mempelajari biografi  menteri-menteri  pendidikan. Ada dua hal yang membuat mereka menempati posisi itu, yaitu benar-benar praktisi pendidikan (berangkat dari dosen, kuliah S2-S3 di luar negeri, jadi rector, jadi menteri) dan atau pemain politik yang dekat dengan kekuasaan.
Bagaimana dengan saya? Praktisi, ya! Guru SD J, dekat dengan kekuasaan? Sangat jauh… saya hanya punya komitmen untuk istiqomah di jalan dakwah.
Kalau begitu, berapa % kemungkinan saya bisa mewujudkan mimpi saya? 100 % dengan izinnya.
Langkah kecil yang akan saya lakukan adalah, merunut dari akhir… Jika seandainya seorang Mendiknas harus bergelar professor dan doktor, maka saya harus kuliah S2-S3. Dan konsekuensi-konsekuensi lainnya yang harus saya lakuakan untuk mewujudkan mimpi saya.
Yup, ada serangkaian tahapan yang sudah saya rencanakan dan akan dieksekusi satu persatu.

Lalu apa yang terjadi, apabila mimpi saya tidak terealisasi? Yah, biasa aja. Life must go on, tidak akan patah hati, tidak akan ada air mata. Tidak akan ada kecewa. Ini salah satu keuntungan saat bermimpi besar, tidak akan kecewa saat belum berhasil meraihnya. Justru yang membuat kecewa adalah saat bermimpi kecil, akan ada pernyataan “masa gitu aja gak bisa”. Itu salah satu alasan saya bermimpi besar. Saya punya banyak alasan untuk mewujudkannya, tetapi saya tidak akan kecewa saat tidak berhasil meraihnya.

Manfaat yang saya dapatkan dengan bermimpi besar adalah, memposisikan diri menjadi ‘orang besar’.
Pernah  sangat dipusingkan dengan masalah siswa di kelas, atasan dan orang tua. Ingin rasanya  menyerah, tetapi dengan enteng mimpi besar saya berkata “Masa calon Mendiknas ngurusin masalah yang kaya ginian aja gak bisa.” Sederhana, tetapi sangat menguatkan.

Itulah mimpi besar saya, mungkin kalau beberapa tahun kedepan saya membaca lagi tulisan ini. Saya akan tersenyum dan berkata. Mimpi kemarin adalah kenyataan hari ini.
Mari bermimpi besar dan berjuang untuk mewujudkannya..
“Lebih baik terbang ke langit menabrak bulan, daripada hanya diam di bumi dan berakhir di comberan”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lagu Gempa

12 Teknik Memasak yang Perlu Diketahui Para Ibu

Andragogi dan Fasilitasi