SEKOLAH UNTUK APA?
SEKOLAH UNTUK APA?
oleh Rhenal Kasali*)
dilansir dari Seputar Indonesia, 7 Juli 2011
Beberapa hari ini kita
membaca berita betapa sulitnya anak-anak kita mencari sekolah. Masuk
universitas pilihan, susahnya setengah mati. Kalaupun diterima, bak
lolos dari lubang jarum. Sudah masuk, ternyata banyak yang "salah
kamar". Sudah sering saya mengajak dialog mahasiswa yang bermasalah
dalam perkuliahan yang begitu digali selalu mengatakan mereka masuk
jurusan yang salah. Demikianlah, diterima di PTN masalah,
tidak diterima juga masalah. Kalau ada uang bisa kuliah di mana
saja. Bagaimana kalau uang tak ada? Hampir semua orang ingin menjadi
sarjana, bahkan masuk program S2. Jadi birokrat atau jendral pun,
sekarang banyak yang ingin punya gelar S3. Persoalan seperti itu saya
hadapi waktu lulus SMA tiga puluh tahun yang lalu, dan ternyata masih
menjadi masalah hari ini. Bahkan sekarang, memilih SMP dan SMA pun sama
sulitnya.Mengapa hanya soal memindahkan anak karena pindah rumah
ke sekolah negeri lain saja biayanya begitu besar? Padahal bangku
sekolah masih banyak yang kosong. Masuk sekolah susah, pindah juga
sulit, diterima di perguruan tinggi untung-untungan, cari kerja susahnya
minta ampun. Lengkap sudah masalah kita. Kalau kita
sepakat sekolah adalah jembatan untuk mengangkat kesejahteraan dan daya
saing bangsa, mengapa dibuat sulit? Lantas apa yang harus dilakukan
orang tua? Jadi sekolah untuk apa di negeri yang serba sulit ini? Kesadaran Membangun SDMLebih
dari 25 tahun yang lalu, saat berkuasa, PM Malaysia Mahathir Mohammad
sadar betul pentingnya pembangunan SDM. Ia pun mengirim puluhan ribu
sarjana mengambil gelar S2 dan S3 ke berbagai negara maju. hal serupa
juga dilakukan China. Tidak sampai sepuluh tahun, lulusan terbaik itu
sudah siap mengisi perekonomian negara. Hasilnya anda bisa lihat
sekarang. BUMN di negara itu dipimpin orang-orang hebat, demikian pula
perusahaan swasta dan birokrasinya. Perubahan bukan hanya sampai di situ. Orang-orang muda yang kembali ke negerinya secara masif me-reform sistem pendidikan. Tradisi lama yang terlalu kognitif dibongkar. Old ways teaching yang terlalu berpusat pada guru dan papan tulis, serta peran brain memory (hafalan
dan rumus) yang dominan mulai ditinggalkan. Mereka membongkar
kurikulum, memperbaiki metode pengajaran, dan seterusnya. Tak
mengherankan kalau sekolah-sekolah di berbagai belahan dunia pun mulai
berubah. Di negeri Belanda saya sempat terbengong-bengong
menyaksikan bagaimana universitas seterkenal Erasmus begitu mudah
menerima mahasiswa. "Semua warga negara punya hak untuk mendapat
pendidikan yang layak, jadi mereka yang mendaftar harus kami terima,"
ujar seorang dekan di Erasmus. Beda benar dengan universitas negeri
kita yang diberi privilege untuk mencari dan mendapatkan lulusan SLTA yang terbaik. Seleksinya sangat ketat. Lantas
bagaimana membangun bangsa dari lulusan yang asal masuk ini? "Mudah
saja," ujar dekan itu. "Kita potong di tahun kedua. Masuk tahun kedua,
angka drop out tinggi sekali. Di sinilah kita baru bicara
kualitas, sebab walaupun semua orang bicara hak, soal kemampuan dan
minat bisa membuat masa depan berbeda,"ujarnya.Hal senada juga
saya saksikan hari-hari ini di New Zealand. Meski murid-murid yang
kuliah sudah dipersiapkan sejak di tingkat SLTA, angka drop out
mahasiswa tahun pertama cukup tinggi. Mereka pindah ke politeknik yang
hanya butuh satu tahun kuliah. Yang lebih mengejutkan saya
adalah saat memindahkan anak bersekolah di tingkat SLTA di New
Zealand. Sekolah yang kami tuju tentu saja sekolah yang terbaik, masuk
dalam sepuluh besar nasional dengan fasilitas dan guru yang baik. Saya
menghabiskan waktu beberapa hari untuk mewancarai lulusan sekolah itu
masing-masing, ikut tour keliling sekolah, menanyakan kurikulum dan
mengintip bagaimana pelajaran diajarkan. Di luar dugaan saya, pindah
sekolah ke sini pun ternyata begitu mudah. Sudah lama saya
gelisah dengan metode pembelajaran di sekolah-sekolah kita yang terlalu
kognitif, dengan guru-guru yang merasa hebat kalau muridnya bisa dapat
nilai rata-rata diatas 80 (betapapun stressnya mereka) dan sebaliknya
memandang rendah terhadap murid aktif namun tak menguasai semua subjek.
Potensi anak hanya dilihat dari nilai, yang merupakan cerminan
kemampuan mengkopi isi buku dan cacatan. Entah dimana keguruan itu
muncul kalau sekolah tak mengajarkan critical thinking. Kita mengkritik lulusan yang biasa membebek, tapi tak berhenti menciptakan bebek-bebek dogmatik. Kalau
lulusannya mudah diterima di sekolah yang baik di luar negri, mungkin
guru-guru kita akan menganggap sekolahnya begitu bagus. Mohon maaf,
ternyata tidak demikian. Jangankan dibaca, diminta transkrip nilainya
pun tidak. Maka jangan heran, anak dari daerah terpencil pun di
Indonesia, bisa dengan mudah diterima di sekolah yang baik di luar
negeri. Bahkan tanpa tes. Apa yang membuat demikian? "undang-undang
menjamin semua orang punya hak yang sama untuk belajar," ujar seorang
guru di New Zealand. Lantas, bukankah kualitas lulusan ditentukan inputnya? "itu
ada benarnya, tapi bukan segala-galanya," ujar putera sulung saya yang
kuliah di Auckland University tahun ketiga. Maksudnya, test masuk tetap
ada, tetapi hanya dipakai untuk penempatan dan kualifikasi.
Di tingkat SLTA, mereka hanya diwajibkan mengambil dua mata pelajaran wajib (compulsory)
yaitu matematika dan bahasa Inggris. Pada dua mata pelajaran ini pun
mereka punya tiga kategori: akselerasi, rata-rata, dan yang masih butuh
bimbingan. Sekolah dilarang hanya menerima anak-anak bernilai akademik
tinggi karena dapat menimbulkan guncangan karakter pada masa depan anak,
khususnya sifat-sifat superioritas, arogansi, dan kurang empati. Mereka
hanya super dikedua kelas itu, di kelas lain mereka berbaur. Dan belum
tentu superior di kelas lain karena pengajaran tidak hanya diberikan
secara kognitif semata. Selebihnya, hanya ada empat mata
pelajaran pilihan lain yang disesuaikan dengan tujuan masa depan
masing-masing. Bagi mereka yang bercita-cita menjadi dokter maka biologi
dan ilmu kimia wajib dikuasai. Bagi yang akan menjadi insinyur wajib
menguasai fisika dan kimia. Sedangkan bagi yang ingin menjadi ekonom
wajib mendalami accounting, statistik dan ekonomi. Anak-anak yang ingin
menjadi ekonom tak perlu belajar biologi dan fisika. Beda benar dengan
anak-anak kita yang harus mengambil 16 mata pelajaran di tingkat SLTA di
sini, dan semuanya diwajibkan lulus di atas Kriteria Ketuntasan Minimal
(KKM). Bayangkan, bukankah cita-cita pembuat kurikulum
itu orangnya hebat sekali? Mungkin dia manusia super. Seorang lulusan
SLTA, tahun pertama harus menguasai 4 bidang science (biologi, ilmu
kimia, fisika dan Matematika), lalu tiga bahasa (Bahasa Indonesia,
Inggris dan satu bahasa lain), ditambah PPKN, sejarah, sosiologi,
ekonomi, agama, geografi, kesenian, olahraga dan komputer. Hebat sekali
bukan? Tidak mengherankan kalau sekolah menjadi sangat menakutkan,stressful,
banyak korban kesurupan, terbiasa mencontek, dan sebagainya. Harus
diakui kurikulum SLTA kita sangat berat. Sama seperti kurikulum program
S1 dua puluh tahun yang lalu yang sejajar dengan program S1 yang
digabung hingga S3 di Amerika. Setelah direformasi, kini anak-anak kita
bisa lulus sarjana tiga tahun. Padahal dulu butuh lima tahun. Dulu
program doktor menyelesaikan di atas 100 SKS, makanya hampir tak ada
yang lulus. Kini seseorang bisa lulus doktor dalam tiga tahun. Anda
bisa saja mengatakan, dulu kita juga demikian tapi tak ada masalah kok!
Di mana masalahnya? Masalahnya, saat ini banyak hal telah
berubah. Teknologi telah merubah banyak hal, anak-anak kita dikepung
informasi yang lebih bersifat pendalaman dan banyak pilihan, namun
datang dengan lebih menyenangkan. Belajar bukan hanya dari guru, tapi
dari segala resources. Ilmu belajar menjari lebih penting dari
apa yang dipelajari itu sendiri, karena itu diperlukan lebih dari
seorang pengajar, yaitu pendidik. Guru tak bisa lagi memberikan semua
isi buku untuk dihafalkan, tetapi guru dituntut memberikan bagaimana
hidup tanpa guru, Lifelong learning. Saya
saksikan metode belajar telah jauh berubah. Seorang guru di West Lake
Boys School di Auckland mengatakan, "Kami sudah meninggalkan old ways teaching sejak
sepuluh tahun yang lalu. Makanya sekolah sekarang harus memberikan
lebih banyak pilihan daripada paksaan. Percuma memberi banyak
pengetahuan kalau tak bisa dikunyah. Guru kami ubah, metode
diperbaharui, fasilitas baru dibangun," ujar seorang guru.Masih
banyak yang ingin saya diskusikan, namun sampai di sini ada baiknya
kita berefleksi sejenak. Untuk apa kita menciptakan sekolah, dan untuk
apa kita bersekolah? Mudah-mudahan kita bisa mendiskusikan lebih dalam
minggu depan dan semoga anak-anak kita mendapatkan masa depannya yang
lebih baik. Rhenald KasaliKetua Program MMUIlink terkait:
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/411134/34/
Powered by Dept. Statistika FMIPA IPB
oleh Rhenal Kasali*)
dilansir dari Seputar Indonesia, 7 Juli 2011
Beberapa hari ini kita
membaca berita betapa sulitnya anak-anak kita mencari sekolah. Masuk
universitas pilihan, susahnya setengah mati. Kalaupun diterima, bak
lolos dari lubang jarum. Sudah masuk, ternyata banyak yang "salah
kamar". Sudah sering saya mengajak dialog mahasiswa yang bermasalah
dalam perkuliahan yang begitu digali selalu mengatakan mereka masuk
jurusan yang salah. Demikianlah, diterima di PTN masalah,
tidak diterima juga masalah. Kalau ada uang bisa kuliah di mana
saja. Bagaimana kalau uang tak ada? Hampir semua orang ingin menjadi
sarjana, bahkan masuk program S2. Jadi birokrat atau jendral pun,
sekarang banyak yang ingin punya gelar S3. Persoalan seperti itu saya
hadapi waktu lulus SMA tiga puluh tahun yang lalu, dan ternyata masih
menjadi masalah hari ini. Bahkan sekarang, memilih SMP dan SMA pun sama
sulitnya.Mengapa hanya soal memindahkan anak karena pindah rumah
ke sekolah negeri lain saja biayanya begitu besar? Padahal bangku
sekolah masih banyak yang kosong. Masuk sekolah susah, pindah juga
sulit, diterima di perguruan tinggi untung-untungan, cari kerja susahnya
minta ampun. Lengkap sudah masalah kita. Kalau kita
sepakat sekolah adalah jembatan untuk mengangkat kesejahteraan dan daya
saing bangsa, mengapa dibuat sulit? Lantas apa yang harus dilakukan
orang tua? Jadi sekolah untuk apa di negeri yang serba sulit ini? Kesadaran Membangun SDMLebih
dari 25 tahun yang lalu, saat berkuasa, PM Malaysia Mahathir Mohammad
sadar betul pentingnya pembangunan SDM. Ia pun mengirim puluhan ribu
sarjana mengambil gelar S2 dan S3 ke berbagai negara maju. hal serupa
juga dilakukan China. Tidak sampai sepuluh tahun, lulusan terbaik itu
sudah siap mengisi perekonomian negara. Hasilnya anda bisa lihat
sekarang. BUMN di negara itu dipimpin orang-orang hebat, demikian pula
perusahaan swasta dan birokrasinya. Perubahan bukan hanya sampai di situ. Orang-orang muda yang kembali ke negerinya secara masif me-reform sistem pendidikan. Tradisi lama yang terlalu kognitif dibongkar. Old ways teaching yang terlalu berpusat pada guru dan papan tulis, serta peran brain memory (hafalan
dan rumus) yang dominan mulai ditinggalkan. Mereka membongkar
kurikulum, memperbaiki metode pengajaran, dan seterusnya. Tak
mengherankan kalau sekolah-sekolah di berbagai belahan dunia pun mulai
berubah. Di negeri Belanda saya sempat terbengong-bengong
menyaksikan bagaimana universitas seterkenal Erasmus begitu mudah
menerima mahasiswa. "Semua warga negara punya hak untuk mendapat
pendidikan yang layak, jadi mereka yang mendaftar harus kami terima,"
ujar seorang dekan di Erasmus. Beda benar dengan universitas negeri
kita yang diberi privilege untuk mencari dan mendapatkan lulusan SLTA yang terbaik. Seleksinya sangat ketat. Lantas
bagaimana membangun bangsa dari lulusan yang asal masuk ini? "Mudah
saja," ujar dekan itu. "Kita potong di tahun kedua. Masuk tahun kedua,
angka drop out tinggi sekali. Di sinilah kita baru bicara
kualitas, sebab walaupun semua orang bicara hak, soal kemampuan dan
minat bisa membuat masa depan berbeda,"ujarnya.Hal senada juga
saya saksikan hari-hari ini di New Zealand. Meski murid-murid yang
kuliah sudah dipersiapkan sejak di tingkat SLTA, angka drop out
mahasiswa tahun pertama cukup tinggi. Mereka pindah ke politeknik yang
hanya butuh satu tahun kuliah. Yang lebih mengejutkan saya
adalah saat memindahkan anak bersekolah di tingkat SLTA di New
Zealand. Sekolah yang kami tuju tentu saja sekolah yang terbaik, masuk
dalam sepuluh besar nasional dengan fasilitas dan guru yang baik. Saya
menghabiskan waktu beberapa hari untuk mewancarai lulusan sekolah itu
masing-masing, ikut tour keliling sekolah, menanyakan kurikulum dan
mengintip bagaimana pelajaran diajarkan. Di luar dugaan saya, pindah
sekolah ke sini pun ternyata begitu mudah. Sudah lama saya
gelisah dengan metode pembelajaran di sekolah-sekolah kita yang terlalu
kognitif, dengan guru-guru yang merasa hebat kalau muridnya bisa dapat
nilai rata-rata diatas 80 (betapapun stressnya mereka) dan sebaliknya
memandang rendah terhadap murid aktif namun tak menguasai semua subjek.
Potensi anak hanya dilihat dari nilai, yang merupakan cerminan
kemampuan mengkopi isi buku dan cacatan. Entah dimana keguruan itu
muncul kalau sekolah tak mengajarkan critical thinking. Kita mengkritik lulusan yang biasa membebek, tapi tak berhenti menciptakan bebek-bebek dogmatik. Kalau
lulusannya mudah diterima di sekolah yang baik di luar negri, mungkin
guru-guru kita akan menganggap sekolahnya begitu bagus. Mohon maaf,
ternyata tidak demikian. Jangankan dibaca, diminta transkrip nilainya
pun tidak. Maka jangan heran, anak dari daerah terpencil pun di
Indonesia, bisa dengan mudah diterima di sekolah yang baik di luar
negeri. Bahkan tanpa tes. Apa yang membuat demikian? "undang-undang
menjamin semua orang punya hak yang sama untuk belajar," ujar seorang
guru di New Zealand. Lantas, bukankah kualitas lulusan ditentukan inputnya? "itu
ada benarnya, tapi bukan segala-galanya," ujar putera sulung saya yang
kuliah di Auckland University tahun ketiga. Maksudnya, test masuk tetap
ada, tetapi hanya dipakai untuk penempatan dan kualifikasi.
Di tingkat SLTA, mereka hanya diwajibkan mengambil dua mata pelajaran wajib (compulsory)
yaitu matematika dan bahasa Inggris. Pada dua mata pelajaran ini pun
mereka punya tiga kategori: akselerasi, rata-rata, dan yang masih butuh
bimbingan. Sekolah dilarang hanya menerima anak-anak bernilai akademik
tinggi karena dapat menimbulkan guncangan karakter pada masa depan anak,
khususnya sifat-sifat superioritas, arogansi, dan kurang empati. Mereka
hanya super dikedua kelas itu, di kelas lain mereka berbaur. Dan belum
tentu superior di kelas lain karena pengajaran tidak hanya diberikan
secara kognitif semata. Selebihnya, hanya ada empat mata
pelajaran pilihan lain yang disesuaikan dengan tujuan masa depan
masing-masing. Bagi mereka yang bercita-cita menjadi dokter maka biologi
dan ilmu kimia wajib dikuasai. Bagi yang akan menjadi insinyur wajib
menguasai fisika dan kimia. Sedangkan bagi yang ingin menjadi ekonom
wajib mendalami accounting, statistik dan ekonomi. Anak-anak yang ingin
menjadi ekonom tak perlu belajar biologi dan fisika. Beda benar dengan
anak-anak kita yang harus mengambil 16 mata pelajaran di tingkat SLTA di
sini, dan semuanya diwajibkan lulus di atas Kriteria Ketuntasan Minimal
(KKM). Bayangkan, bukankah cita-cita pembuat kurikulum
itu orangnya hebat sekali? Mungkin dia manusia super. Seorang lulusan
SLTA, tahun pertama harus menguasai 4 bidang science (biologi, ilmu
kimia, fisika dan Matematika), lalu tiga bahasa (Bahasa Indonesia,
Inggris dan satu bahasa lain), ditambah PPKN, sejarah, sosiologi,
ekonomi, agama, geografi, kesenian, olahraga dan komputer. Hebat sekali
bukan? Tidak mengherankan kalau sekolah menjadi sangat menakutkan,stressful,
banyak korban kesurupan, terbiasa mencontek, dan sebagainya. Harus
diakui kurikulum SLTA kita sangat berat. Sama seperti kurikulum program
S1 dua puluh tahun yang lalu yang sejajar dengan program S1 yang
digabung hingga S3 di Amerika. Setelah direformasi, kini anak-anak kita
bisa lulus sarjana tiga tahun. Padahal dulu butuh lima tahun. Dulu
program doktor menyelesaikan di atas 100 SKS, makanya hampir tak ada
yang lulus. Kini seseorang bisa lulus doktor dalam tiga tahun. Anda
bisa saja mengatakan, dulu kita juga demikian tapi tak ada masalah kok!
Di mana masalahnya? Masalahnya, saat ini banyak hal telah
berubah. Teknologi telah merubah banyak hal, anak-anak kita dikepung
informasi yang lebih bersifat pendalaman dan banyak pilihan, namun
datang dengan lebih menyenangkan. Belajar bukan hanya dari guru, tapi
dari segala resources. Ilmu belajar menjari lebih penting dari
apa yang dipelajari itu sendiri, karena itu diperlukan lebih dari
seorang pengajar, yaitu pendidik. Guru tak bisa lagi memberikan semua
isi buku untuk dihafalkan, tetapi guru dituntut memberikan bagaimana
hidup tanpa guru, Lifelong learning. Saya
saksikan metode belajar telah jauh berubah. Seorang guru di West Lake
Boys School di Auckland mengatakan, "Kami sudah meninggalkan old ways teaching sejak
sepuluh tahun yang lalu. Makanya sekolah sekarang harus memberikan
lebih banyak pilihan daripada paksaan. Percuma memberi banyak
pengetahuan kalau tak bisa dikunyah. Guru kami ubah, metode
diperbaharui, fasilitas baru dibangun," ujar seorang guru.Masih
banyak yang ingin saya diskusikan, namun sampai di sini ada baiknya
kita berefleksi sejenak. Untuk apa kita menciptakan sekolah, dan untuk
apa kita bersekolah? Mudah-mudahan kita bisa mendiskusikan lebih dalam
minggu depan dan semoga anak-anak kita mendapatkan masa depannya yang
lebih baik. Rhenald KasaliKetua Program MMUIlink terkait:
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/411134/34/
Powered by Dept. Statistika FMIPA IPB
Komentar