Bukan Fabel

Suatu hari di negeri binatang, para hewan tua berkumpul untuk mendiskusikan masalah yang sangat penting untuk keberlangsungan negeri itu. Mereka merasa perlu membuat sebuah lembaga untuk mendidik anak-anak mereka. Akhirnya mereka sepakat untuk membuat sebuah sekolah, dengan 5 mata pelajaran utamanya yaitu : berlari, berenang, terbang, menggali dan melompat.


Mulailah mereka memasukan anak-anak mereka ke sekolah itu, dengan harapan anak-anak mereka menjadi generasi unggul yang menguasai semua bidang keahlian di negeri binatang. Hari demi hari berlalu, para hewan kecil senang karena mereka mendapatkan teman baru dan mengikuti setiap pelajaran dengan sangat antusias.
Hingga suatu saat masalahpun hadir, Elang yang mendapat nilai A pada pelajaran terbang ia mendapat nilai E untuk pelajaran menggali. Kelinci yang mendapat nilai A pada pelajaran melompat, ia mendapat nilai E pada pelajaran berenang… Dan paniklah orang tua mereka, takut kalau anak-anaknya tidak menjadi generasi yang unggul yang menguasai  semua keahlian di negeri binatang.

Ibu Elang pun, mulai mendatangkan guru privat untuk mengajari Elang menggali. Bunda Kelinci memasukan kelinci ke kursus renang agar anaknya jago renang.. Apa yang terjadi kemudian? Elang perlahan-lahan mulai kehilangan kemampuan terbangnya, dan pada pelajaran menggali pun dia tetap mendapatlan kesulitan. Kelinci mulai lupa cara melompat karena sibuk mengingat cara berenang…
Hingga akhirnya Elang tak bisa lagi terbang dan kelinci hanya mampu melompat pelan..
Itu hanyalah fiktif belaka..

Cerita yang sebenanya justru terjadi di dunia manusia. Dunia yang berisi orang-orang intelek yang Allah berikan kelebihan dari mahluk yang lainnya berupa akal. Tetapi apa yang terjadi, justru manusialah yang terkadang tidak memanusiakan manusia. Menyamaratakan kemampuan setiap orang. Membuat sebuah system yang dirasa paling tepat untuk mencipatakn generasi yang unggul. Dengan jumlah mata pelajaran yang begitu banyak, dengan jumlah jam pelajaran yang begitu panjang  dan seabreg standar kompetensi/ kompetensi dasar yang harus dimampui setiap siswa. Dengan UASBN sebagai standar kelulusan, standar yang menghakimi masa depan setiap anak.  Yang menjadi pupuk berjamurnya budaya tidak jujur  di sekolah-sekolah, guru yang memberi tahu jawaban, orang tua yang sibuk mencari penjual soal. Hanya bimbel yang mamasang iklan ‘Dijamin 100 % lulus UASBN’ lah yang diuntungkan.

 Satu hal yang paling menyakitkan buat manusia adalah merasa tidak mampu dan merasa gagal! Haruskah anak-anak merasakan itu? Bayangkan ketika seorang anak pernah merasa gagal karena mendapat nilai kecil bahkan tidak lulus saat UASBN, maka rasa tidak mampu akan membayangi dia seumur hidupnya dan takut meraih mimpi akan menghantuinya. Haruskah manusia-manusia dewasa menghancurkan mimpi setiap anak dengan UASBN? Sudahkah kita lupa dengan beberapa anak negeri ini yang bunuh diri karena tidak lulus UN? Jangan bunuh anak-anak yang lain lagi, jangan bunuh mimpi mereka!

Say no to UASBN!!!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lagu Gempa

12 Teknik Memasak yang Perlu Diketahui Para Ibu

Andragogi dan Fasilitasi