Guru Vs Tukang Surabi (Asyiknya jadi Guru part 1)

Suatu pagi, anak-anak Umar bin Khattab duduk tertib dibangkunya masing-masing. Setelah membaca Iqra dan beberapa anak sudah ada yang membaca Qur’an, hafalan Al Bayyinah dan Salat Dhuha akhirnya mereka siap untuk belajar.
 Hari itu, giliran saya yang mengajar jam pertama.Pelajaran Matematika, tentang penjumlahan bilangan 3 angka. Dengan percaya diri saya mulai menyampaikan materi di depan, dengan gaya konvensional (Guru menerangkan, murid menyimak _sidakeup bari balem_). Apa yang terjadi kemudian, anak-anak hanya bertahan 10 menit. Faiz dan Ali tiba-tiba posisi duduknya sudah pindah ke bawah, asyik melipat-lipat kertas binder dan menjadikannya pesawat. Rizki mulai asyik mengobrol dengan Ucha, Nuha mulai iseng menarik tali kerudung teman-temannya. Fathan sudah mulai pindah posisi kursinya, merapat ke kursi Rizki dan ikut nimrung obrolannya.
OMG, apa yang terjadi, baru 10 menit! Please deh, belum sampai ke materi. Hey,  DENGARKAN!!! Teriakan itu hanya terjadi dalam batinku, bagaimana bisa berteriak sedangkan suara saja serak-serak banjir.  Untuk berbicara saja harus mengeluarkan segenap kekuatan. Itu terjadi sebulan pertama saya mengajar. Saya stress, murid stress, orang tua banyak yang protess..hehe
Maklumlah, komposisi waktu itu saya dipatnerkan dengan guru baru juga. Menjadi guru kelas (penanggung jawab kelas) bagi saya adalah amanah yang besar, belum ada pengalaman mengajar sebelumnya selain mengajar privat, belum ada pengetahuan tentang masalah anak berkebutuhan khusus. Dengan sedikit arahan dan informasi cara mengondisikan anak 2 berkebutuhan khusus yang ada di kelas, 2 anak yang belum bisa baca, 5 anak hiperaktif, dan yang lainnya yang abu-abu.. Huaaa. Hanya mampu menarik napas panjang. Belum lagi guru pendamping yang jarang masuk. Lengkaplah sudah… Dan tak jarang juga celetukan anak yang bilang “Ah gak asyik sama Ibu mah, enakan waktu kelas satu gurunya baik-baik dan asyik!” hiks..hiks.. Karena anak-anak lebih jujur daripada orang dewasa.
Dan mulailah saya, bergerilya mencari tahu bagaimana cara mengajar guru yang dibilang asyik dan seru oleh anak-anak. Mengamati saat guru itu membuka kelas, menyampaikan materi, mengondisikan kelas, dll.. Memang benar, ternyata saya guru yang membosankan.
Belajar, belajar, belajar! Itu yang selalu saya lakukan! Menganalisis karakter setiap anak, cara mereka belajar, lama mereka mampu bertahan saat di kelas, hingga pendekatan personal. Pokoknya saya harus menaklukan setiap anak, itu tekad saya. Mengikuti pelatihan-pelatihan metode mengajar dan seminar perkembangan anak-anak juga. Pokoknya harus menjadi the best teacher! Dan tidak ada lagi anak yang mengatakan saya guru yang gak asyik…heu
Waktu berlalu, perlahan-lahan terjalinlah kedekatan emosi dengan anak-anak. Saya pun mulai bisa ‘menguasai medan’ setelah sekian lama ma’rifatul medan dan mempelajari berbagai macam ‘strategi perang’ .
                 Tidak usah banyak teriak-teriak nyuruh mereka masuk setelah istirahat (maklumlah, tidak dibiasakan untuk menggunakan bel, karena beberapa alasan ), cukup bilang saja “Yang masuk sebelum pukul 10 pas akan mendapat 2 nyawa”, anak-anak pun berhamburan duduk manis di kursinya. Tak usah mengiming-imingi mereka permen agar mereka mau dekat dengan saya, merekapun akan berebut tempat di sebelah saya, cukup saya bilang  ‘belajarnya di karpet’, atau agar mereka tenang saat belajar ‘yang ngobrol Ibu tembak’. Aturan main waktu itu, dibuat seperti games. Rewardnya dikasih nyawa, punishmentnya ditembak. Bintang dan petir ternyata tidak menarik hati anak-anak Umar bin Khattab yang terkenal dengan murid-muridnya yang hyperaktif.
Pernah, ada momen yang begitu menyentuh. Hari itu, saya belum sempat sarapan. Alhamdulillah bertemu dengan tukang surabi di jalan Cikajang. Melihat ukuran surabi yang cukup besar, beli dua juga akan mengenyngakan. Akhirnya saya hanya membeli dua. Sesampainya di sekolah, ternyata anak-anak sebagian sudah datang. Saya pun hanya sempat memakan surabi satu gigitan, karena anak-anak sudah antri di depan saya untuk mengaji.
Hari itu pun saya harus single fighter di kelas, patner saya izin begitupun denga guru pendamping siswa ABK. Dengan mengerahkan seluruh tenaga, saya mengondisikan kelas sendirian. Mulai dari mengaji, hafalan, pengondisian shalat dhuha dan dzuhur, ngajar beberapa pelajaran, menyiapkan makan siang anak-anak, dll.
Pelajaran pertama selesai, saatnya anak-anak istirahat dan tibalah waktu untuk gurunya mencuci beras plus menanak nasi. Ternyata, beras kelas saya habis, untung ada tetangga kelas yang baik hati yang meminjamkannya. “4 gelas yah Bu, jangan lupa dikembaliin” kata Ibu Guru kelas sebelah.. Pas ngecek rice cooker kelas saya,  ternyata rusak juga. Waduh kalau gak masak nasi sekarang curiga anak-anak bakal telat makan siang. Akhirnya berkeliling kelas yang lain untuk mengantri  meminjam rice cooker kelasnya. Alhamdulillah, ada guru kelas lain yang sudah masak nasi dari pagi sehingga rice cookernya  bebas tugas.
Asyik, sekarang bisa makan surabiku… lapar! Baru saja mengeluarkan bungkusan surabi, anak-anak sudah berhamburan dan duduk rapi di kursinya.
“Bu, aku dapat 2 nyawa yah, kan udah duduk rapi sebelum jarum panjang kam ke angka 12” Seru Nuha
“baiklah” jawabku lesu, surabiku… ratapku
Yah, pelajaran jam ketiga pun dimulai. Mulailah aku beraksi lagi, tentu saja dengan mengasyikan. Hey, saya sudah menjadi guru yang asyik lho sekarang… hehe
Kesulitan terbesar anak-anak adalah jika disuruh menulis, sedangkan indicator pelajarannya adalah siswa mampu menuliskan. Akhirnya, saya pasang strategi. Mulailah menuliskan beberapa kalimat di papan tulis dan meminta anak-anak menyalinnya, dan tentu saja tak lupa mengumumkan reward bagi anak yang bisa menulis dengan cepat dan rapih..
“Anak yang tulisannya rapih dan menyelesaikan tepat waktu, akan Ibu beri surabi” Umumku.
Apa yang terjadi, ternyata hampir semua anak mengeluarkan semangat 45 untuk menyelesaikan tulisannya secepat mungkin. Baru 10 menit sudah ada yang selesai, dia pun nagih “Bu, mana surabinya”. Dalam waktu bersamaan anak-anak yang lainnya menyelesaikan tugasnya, dan menagih reward yang sama.
Dengan berat hati, dikeluarkanlah surabi yang ingin kusantap dari tadi.. Satu anak mendapat satu suap surabi setelah bersabar mengantri giliran mendapat disuapin saya. Subhanallah, dua surabi kurang satu gigitan dimakan rame-rame oleh 22 siswa dan satu guru yang kelaparan… nikmatnya..
“Bu, mau lagi” kata Ali
“Habis Li” jawabku
“Ah, Ibu gak asyik ah” lontarnya cuek
Apa?? Masih disebut guru yang gak asyik… please deh, kalo gitu gurunya tukang surabi saja… jawabku dalam hati… hehe



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lagu Gempa

12 Teknik Memasak yang Perlu Diketahui Para Ibu

Andragogi dan Fasilitasi