Gelap Itu Hanya Perasaan


Dua malam di Labuan Kenanga membuat aku lebih akrab dan terbiasa dengan udara Tambora. Setelah acara pisah sambut di kecamatan, aku dan Kak Shally pun pergi menuju Dusun Satuan Pemukiman 3 Oi Marai.
Kak Shally memesan 4 ojeg untuk mengangkut kami plus semua barang bawaanku, tetapi ternyata Banng Iswan (ojeg langganan kak Shally) hanya mampu menghadirkan seorang rekannya dengan alasan tak ada tukang ojeg lain karena menonton pertandingan bola di Sori Bura. Ojeg disini memang special, kami memintanya secara langsung dan penuh rasa hormat agar mau mengantarkan kami ke daerah tujuan. Ojeg menjadi satu-satunya transportasi antartempat disini. Daerah Tambora yang memang cukup terjal dan berkelok-kelok menyebabkan honda (sebutan terkenal untuk motor) menjadi yang terdepan membelah jalanan Tambora.
Karena hanya ada dua ojeg, 4 barangku yang segede-gede gaban dan barang Kak Shally terpaksa dibagi menjadi 2. Belum lagi ditambah masing-masing dua orang pada setiap motornya (penumpang dan pengendaranya). Bang Iswan dan temannya dengan sangat gesit menata barang kami, sehingga motornya masih menyisakan tempat untuk diduduki
Rombongan motor menuju SP 3 pun melaju dengan cukup kencang. Aku menikmati jalanan yang dilalui. Pemukiman rumah panggung khas Bima, sapi dan kambing yang melenggang bebas di jalanan,  penduduk Bima yang sedang menikmati udara sore, pantai yang berair tenang, dan hutan semak belukar menjadi pemandanganku selama perjalanan. Aku memang penyuka jalan-jalan menggunakan motor, dengan posisi sebagai penumpang..hehe. Saat di Bandung pun aku paling senang bila bepergian menggunakan motor. Mungkin itu salah satu alasan Allah menggerakan hati tim operasi IM yang menempatkan aku di daerah SP3 yang kalau mau pergi kemana-mana mengunjungi daerah lain harus menggunakan motor terlebih dahulu.
Satu jam lebh perjalanan menggunakan motor, pegal juga rasanya. Apalagi dengan tas besar yang menemplok di punggungku dan jalanan menuju SP3 yang semakin lama semakin menantang. Ternyata batuan tajam dan pasir yang runcing membuat ban motor yang aku tumpangi kempes di tengah-tengah hutan semak belukar. Abang ojeg yang aku tumpangi tampak cukup panik, aku garuk-garuk kepala memikirkan apa yang harus kami lakukan. Bang Iswan dan Kak Shally telah melaju jauh meninggalkan kami di depan. Aku melihat layar handphoneku, tak ada jaringan sama sekali. Hanya pertolongan Allah lah yang bisa menyelamatkan kami, apalagi hari sudah semakin sore dan sebentar lagi akan gelap.
Tiba-tiba terdengar suara jalanan dilindas motor, alhamdulillah datanglah dua orang Bapak-bapak yang menumpangi motor. Mereka pun menanyakan apa yang terjadi. Aku menjelaskan dengan begitu detail apa yang terjadi dan maksud kedatanganku ke SP 3. Pak De Kuswan dan Pak Nurdin, nama Bapak-bapak tersebut. Mereka baru dari SP 2 dan akan menuju ke SP 4. SP adalah singakatan dari Satuan Pemukiman yang digunakan untuk menamai daerah transmigrasi.
Pak De Kuswan ternyata mengenali Ibu angkatku, beliau pun menawarkan untuk mengantarkanku sampai rumah Ibu angkatku sedangkan Pak Nurdin menunggunya sambil berjalan perlahan-lahan.
Subhanallah, aku sangat tersentuh dengan kebaikan hati mereka. Awalnya Pak De menawarkan agar dirinya yang berjalan menuju SP 4 biar Pak Nurdin mengantarku, tetapi pak Nurdin menolaknya dan memilih dia yang  berjalan. Aku terharu melihat sikap mereka yang saling ingin mendahulukan saudaranya, itsar mungkin kata yang cukup tepat untuk sikap yang mereka tunjukan.
Pak De Kuswan akhirnya mengantarkanku menuju SP 3, Pak Nurdin berjalan menuju SP 4 sambil menunggu Pak De kembali memboncengnya dan Abang ojeg yang aku tumpangi sebelumnya menuntun ojegnya dengan pelahan menuju tempat tambal ban yang ditunjukan Pak De Kuswan. Agak heran juga di daerah hutan ternyata ada tambal ban. Ternyata tambal bannya cukup jauh dan tetap harus menyelusuri jalan yang begitu panjang dan sedikit terjal.
Hari sudah agak gelap ketika aku sampai di depan rumah keluarga angkatku. Walaupun SP 3 tak berlistrik dan tak bersinyal, kebaikan hati Pak De Kuswan, Pak Nurdin dan Abang ojeg membuat malamku hari itu tidak terasa begitu gelap.
Kebaikan dan ketulusanlah yang membuat suasana gelap mendadak menjadi benderang.
“Gelap itu hanya perasaan, SISWA!!!” (dengan intonasi seperti Pelatih Kopassus ^^)*bisikku, menghibur diri sendiri.

22 Juni 2012

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lagu Gempa

12 Teknik Memasak yang Perlu Diketahui Para Ibu

Andragogi dan Fasilitasi