kisahku untuk BM

Bismillah...

Wisma Handayani, 15-06-2012 pukul 00.33
Malam sudah sangat larut, tetapi saya ingin segera menyelesaikan tulisan ini dan memenuhi janji saya kepada Pak Pepen untuk berbagi pengalaman yang saya dapatkan selama ikut training intensif Indonesia Mengajar. 
InsyaAllah, besok tanggal 16 Juni saya akan segera berangkat ke Bima NTB. Jam 8 malam tadi saya dan pengajar muda lainnya sudah dilepas oleh Pak Anies. Bahkan jam 2 dini hari ini 7 teman saya pengajar muda Maluku Tenggara Barat akan segera pergi dari wisma menuju Bandara. Saya tak pernah membayangkan diri saya bisa sampai tahap ini. Berada pada tahapan ini. Menjadi Pengajar Muda adalah harapan dalam hati kecil saya yang saya wujudkan dengan mengirimkan aplikasi bulan Januari lalu saat H-2 akan ditutup. Sebelumnya saya pernah ikut melamar menjadi Pengajar Muda Angkatan 3 (Pendaftaran Mei 2011) tetapi saya gagal di tahap 2. Saya pernah merasa gagal dan malu untuk mencoba lagi, tetapi saya selalu optimis bahwa semakin sering saya gagal semakin dekat dengan keberhasilan.
Saya pun merasa sangat termotivasi saat Pak Pepen memberi izin kepada saya untuk mengikuti setiap rangkaian test Pengajar Muda angkatan IV hingga akhirnya memperkenankan saya untuk cuti selama setahun.  Tulisan ini bukan bentuk kompensasi dengan ‘kecutian’ saya, tanpa diminta Pak Pepen pun saya ingin menulis dan bercerita kepada teman-teman semuanya tentang apa yang telah saya jalani selama training.
Saya adalah salah satu dari 71 Pengajar Muda yang akan diberangkatkan ke 10 kabupaten di Indonesia. Awalnya 72 orang, tetapi satu orang tidak lanjut karena pertimbangan kesehatan. Bima akan menjadi kampung halaman kedua saya, tepatnya Kecamatan Tambora Desa Kawinda Toi, SD Oi Marai. Kalau teman-teman ingin melihat lebih dekat desa yang akan saya tinggali, silahkan membeli majalah Bobo edisi terbaru. Pengajar Muda yang akan saya gantikan beserta murid-muridnya menulis cerita tentang Oi Marai disana. Saya Pengajar Muda IV yang akan menggantikan Pengajar Muda II.
Selain Bima ada 9 kabupaten lainnya yaitu Musi Banyuasin, Muara Enim, Kapus Hulu (perbatasan Malaysia), Lebak, Bawean, Rotendao (kabupaten paling selatan Indonesia), Sangihe (perbatasan Filiphina), Maluku Tenggara Barat dan Fakfak. Saya akan sangat mengaresiasi apabila ada diantara teman-teman yang bisa menunjukan dimana letak semua kabupaten tersebut pada peta Indonesia.
Dan seolah ada kegembiraan tersendiri bagi kami apabila mendapat daerah penempatan di wilayah yang jauh dan ekstrim. Padahal pada kenyataannya setiap daerah memiliki tantangan yang luar biasa secara geografis dan sosiologis. Misalnya di Sangihe, setiap PM (Pengajar Muda) didistibusikan di setiap pulau berbeda dengan transportasi kesana yang tidak ada setiap hari hanya seminggu satu atau dua kali saja. Yang untuk menuju ke pulaunya saja sangat terpengaruhi cuaca dan angin laut. Atau di MTB (Maluku Tenggara Barat) yang merupakan endemik rabies dan malaria dengan kondisi masyarakat yang senang berpesta pora dan mabuk-mabukan. Atau ingin sedikit berkenalan dengan desa yang akan menjadi domisili saya setahun kedepan? Berjarak 300km dari kabupaten Bima dengan perjalanan darat setengah hari, sebuah dusun transmigrasi dengan berbagai etnis disana, tidak ada listrik sama sekali karena genset telah lama rusak, sinyal telpon pun baru ditemui setelah beberapa km berjalan (tetapi bagaimana bisa menelpon kalau tidak ada listrik untuk mengecharge hp), penduduk setempat sangat jarang hanya sekitar 12 KK, verbal abuse sangat tinggi. Saya sempat takut, cemas, berbagai pikiran berkecambuk. Saya sangat takut dunia melupakan saya.
Tetapi bagi kami, menjadi bagian dari mereka adalah sebuah kehormatan bukan pengorbanan. Kami bisa belajar bagaimana beradaptasi dengan sebenar-benarnya kehidupan, melihat Indonesia yang sebenar-benarnya. Penduduk disana saja bisa survive dan hidup mengapa saya tidak bisa?!
Semakin dekat dengan deployment, semakin haru dengan kerinduan yang memburu. Ingin melihat mutiara-mutiara di belahan Indonesia yang akan menjadi pemimpin-pemimpin bangsa 30-40 tahun kedepan. Wajah-wajah polos anak bangsa yang mungkin tak tahu apa makna kemegahan dan kegemerlapan, tak pernah tersinari lampu listrik di malam hari, tak tahu rupa Indonesia, tak tahu dimana Jakarta, tak tahu apa itu bahasa Indonesia.
Berbagi mimpi dengan mereka, berbagi harapan dengan mereka bahwa kulit atau rambut kita boleh berbeda tetapi kita mempunyai volume otak yang sama dan kesempatan memperoleh kehidupan yang layak di negri mereka sendiri
Kami ingin membawa sebuah optimisme. Optimisme pada dunia bahwa ada sebuah mutiara berharga nun jauh disana, dan optimisme pada masyarakat daerah itu sendiri bahwa mereka layak menjadi bagian dari bangsa ini.
Sebuah cerita Pengajar Muda Bengkalis yang berhasil menaikan rasa percaya diri penduduk disana. 53 siswa Bengkalis lulus OSK tingkat nasional, walaupun sempat tidak akan jadi berangkat karena tak ada kapal yang mengangkut, akhirnya TNI AL menyediakan kapalnya untuk mengangkut siswa-siswa tersebut. Lihat peta, tunjuk dimana Bengkalis dan kita akan tahu betapa besar Indonesia.
Atau kisah seorang Pengajar Muda angkatan II di Kabupaten Fakfak menulis pengalamannya di blog tentang tidak adanya sinyal dia menulis ‘Sinyal itu mahal, Jendral’. Dan tahukah apa yang terjadi, seorang pejabat penting Indosat membaca tulisan tersebut dan dipasanglah menara pemancar sinyal disana. Dan tulisan tersebut pun telah membuat PLN tergerak untuk memasangkan listrik, dan listrik baru menerangi daerah itu 2 bulan yang lalu. Malam saat listrik pertama kali listrik dipasang, seluruh warga kampung disana tidak ada yang tidur. Menyambut kebahagiaan secercah cahaya saat pekat. Bupati Fakfak bahkan menghadap ke Galuh (kantor Indonesia Mengajar), dan meminta secara langsung kepada Pak Anies untuk menjadikan 8 Pengajar Muda angkatan II di Fakfak sebagai PNS disana. SK sudah disiapkan, semua fasilitas siap. Tetapi IM  menolaknya, karena bukan itu tujuan Indonesia Mengajar, bukan ketokohan siapa yang datang kesana tetapi bagaimana hal kecil yang kita lakukan bisa mempengaruhi entitas perilaku masyarakat setempat agar berani memperbaiki kehidupannya sendiri.
 “Tunjuk satu titik pada peta Indonesia, disana terdapat anak-anak bangsa yang berhak mendapat pendidikan yang layak”
It’s not about me (kita pribadi). It  is about us (mimpi tentang pendidikan yang layak dan berkualitas bagi semua anak ngeri). It is about them (anak-anak di pelosok Nusantara).  It is about something greater than all of us together.
Mendidik adalah tugas orang-orang terdidik. Tugas kita semua yang pernah merasakan bangku pendidikan.
Mendidik bukan karena tidak ada pekerjaan lain, mendidik bukan karena ‘nyari aman’ terhadap tuntutan kerja, mendidik buka karena gajinya besar, mendidik bukan karena alergi dengan status pengangguran.
Mendidik adalah tugas orang-orang terdidik.
Spirit itu selalu menggaung dalam kepala saya. Kepala saya yang telah mengalami kelunturan rasa nasionalisme, rasa bangga terhadap bangsa, rasa peduli terhadap sesama.
Kadang saya lebih merasa terharu saat bendera Palestina berkibar diiringi lagu Shauhar dari pada kibaran bendera merah putih dengan lagu Indonesia raya atau padamu negri . Dan selama training intensif, hampir setiap mendengar Indonesia Raya dan Padamu Negri saya berlinang air mata. Indonesia adalah bangsa besar yang dibangun hanya berdasarkan komitmen tahun 1928. Hanya komitmen.
 Apa yang akan terjadi kepada bangsa ini seandainya pemuda pemudinya sudah tidak berkomitmen lagi.  Bukan hanya komitmen untuk menjadi pejabat suatu hari nanti, bukan hanya komitmen terhadap bendera tertentu untuk mengisi pemerintahan suatu hari nanti tanpa kita peduli terhadap apa yang terjadi sekarang dengan negri kita. Tetapi komitmen memberikan yang terbaik bagi agama dan bangsa kita. Mengajar adalah salah satu caranya, dimanapun tempatnya. Dan komitmen kita terhadap bangsa ini adalah memfasilitasi murid-murid kita dalam menemukan masa depan yang lebih baik.
 “Disini negri kami tempat padi terhampar
Samudranya kaya raya negri kami subur Tuan.
Di negri permai ini berjuta rakyat bersimbah luka,
anak kurus tak sekolah pemuda desa tak kerja
Mereka dirampas haknya tergusur dan lapar
bunda relakan darah juang kami padamu kami berjanji untuk membebaskan negri..”


Nasionalisme, ingin rasanya saya melihat nilai itu ada di Sekolah Bintang Madani. Mengajarkan nilai nasionalisme tanpa harus melunturkan nilai-nilai islam. Mungkin anak-anak kita akan lebih tinggi mimpinya dan mau berbuat lebih banyak bagi sesamanya (rakyat Indonesia) jika kita sudah mulai dari sekarang menanamkan kecintaan terhadap negaranya dengan mengenalkan betapa besar bangsanya.
Diujung  perbatasan dengan negri tetangga sana, kami mengajarkan anak-anak bangsa menyanyikan lagu Indonesia Raya akan sangat sedih ketika anak kota bahkan tak hafal liriknya.

Teman-teman, saya butuh doa dari semua. Jalan yang akan saya hadapi tidaklah mudah. Doa teman-teman yang akan menguatkan pundak saya. Doakan saya selalu dalam doa robithoh teman-teman. Semoga kita bisa bertemu dalam kondisi yang lebih baik. Saya berharap ini bukanlah tulisan saya yang pertama dan terakhir. Walaupun tak ada sinyal ataupun listrik, saya akan berusaha menyiasatinya agar bisa mengabari dunia tentang secercah cahaya di belahan lain Indonesia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lagu Gempa

12 Teknik Memasak yang Perlu Diketahui Para Ibu

Andragogi dan Fasilitasi